COVID-19 Jangan Dijadikan Dalih Negara Berangus Kebebasan Berpendapat

Jangan pakai alasan situasi darurat untuk persekusi rakyat

New York City, IDN Times - Di tengah penanganan wabah virus corona, selalu ada saja pemerintah yang salah fokus, kemudian memakai alasan tersebut untuk mempersekusi warga biasa. Misalnya, ketika ada orang-orang yang geram terhadap cara pemerintah melakukan tanggap darurat, mereka justru bisa terancam dikenai hukuman.

Di Indonesia, kepolisian mengeluarkan Surat Telegram No.ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 yang menjadi landasan hukum untuk menangkap warga yang dianggap menghina presiden dan pejabat negara selama penanganan COVID-19. Untuk itu, polisi diminta melakukan patroli siber.

Sedangkan di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte memerintahkan aparat untuk menjerat siapa pun yang dinilai menyebarluaskan "informasi keliru". Yang tertangkap diancam kurungan hingga dua bulan dan denda sampai Rp318 juta. Bukan hanya penduduk sipil, jurnalis juga menjadi subjek dari aturan baru ini.

1. Pemerintah diminta tak menggunakan situasi darurat untuk memberantas kritik

COVID-19 Jangan Dijadikan Dalih Negara Berangus Kebebasan BerpendapatSejumlah wanita mengantre untuk menerima bantuan bahan pokok diberikan oleh komunitas setempat saat wabah COVID-19 di Dhaka, Bangladesh, pada 1 April 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain

Sejumlah pakar di Kantor HAM PBB sudah mengantisipasi fenomena ini sejak bulan lalu, apalagi setelah virus corona menyebar ke lebih dari 180 negara dengan total kasus sekitar 1,4 juta. Dalam pernyataan resmi bertanggal 16 Maret 2020, mereka menegaskan bahwa:

"Deklarasi darurat wabah COVID-19 tak boleh dipakai sebagai basis untuk menarget kelompok tertentu, minoritas atau individu. Itu tak boleh difungsikan sebagai alasan untuk melakukan aksi represif dengan kedok melindungi kesehatan...dan tak boleh digunakan untuk mengakhiri kritik."

Human Rights Watch (HRW) juga menyoroti potensi pemerintah melupakan soal HAM saat menangani COVID-19. "Di bawah hukum HAM internasional, pemerintah wajib melindungi hak kebebasan berekspresi, termasuk hak mencari, menerima dan memberi informasi dalam berbagai bentuk, tidak peduli batas," tulis HRW melalui situs resminya.

HRW menekankan pembatasan wajib mengikuti kaidah-kaidah HAM. Misalnya, diarahkan untuk mencapai tujuan sah dari kepentingan umum, dan berdasarkan bukti ilmiah serta tidak boleh sepihak dan diskriminatif. "Pembatasan yang diizinkan terhadap kebebasan berekspresi untuk alasan-alasan kesehatan publik, seperti tercatat di atas, tak boleh membahayakan hak itu sendiri," tegas HRW.

Baca Juga: Meski Bebas Berpendapat, 5 Hal Ini Tetap Perlu Kamu Ingat

2. Beberapa negara melanggar hak warganya dengan menerapkan pemutusan akses internet

COVID-19 Jangan Dijadikan Dalih Negara Berangus Kebebasan BerpendapatSeorang pria memakai masker saat berjalan melewati halte bus dengan tulisan langkah pencegahan penyebaran virus corona di Mumbai, India, pada 18 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Francis Mascarenhas

Beberapa negara memiliki kebiasaan buruk untuk melanggar hak warganya sendiri di tengah krisis. Organisasi HAM Fortify Rights melaporkan pada 26 Maret lalu bahwa pemerintah Myanmar memutus akses internet di Rakhine dan Chin yang membahayakan keselamatan lebih dari satu juta warga.

"Sekarang lebih dari kapan pun, masyarakat Myanmar perlu akses internet tak terbatas," kata Matthew Smith selaku CEO Fortify Rights. "Mencabut akses kepada informasi terhadap kelompok populasi mana pun saat ini tidak hanya merupakan pelanggaran hak asasi manusia, tapi juga luar biasa tidak bertanggung jawab."

Pemutusan akses internet dan telekomunikasi juga dilakukan oleh pemerintah Bangladesh terhadap para pengungsi Rohingya yang tersebar di sejumlah kamp sejak September 2019. Amnesty International meminta pemerintah agar segera mencabut kebijakan tersebut demi menyelamatkan 900.000 orang yang sudah rentan itu.

3. PBB mendorong pemerintah untuk menghentikan kebijakan yang membahayakan kebebasan berekspresi dan menerima informasi

COVID-19 Jangan Dijadikan Dalih Negara Berangus Kebebasan BerpendapatPemeriksaan suhu tubuh sopir angkot di Simpang Air Mancur, Kota Bogor, Jawa Barat, pada 8 April 2020. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah

Informasi yang akurat dan berbasis ilmiah sangat vital bagi keselamatan masyarakat ketika wabah terjadi. Oleh karena itu, Komisioner Tinggi HAM PBB kembali meminta pemerintah untuk mengakhiri pemutusan akses internet dan telekomunikasi dalam segala bentuk pada 27 Maret lalu.

"Di tengah krisis COVID-19, informasi berbasis fakta dan bersifat relevan terhadap penyakit serta penyebaran dan responsnya harus menjangkau semua orang tanpa terkecuali," tegas PBB. Kesimpulannya, pemerintah tidak boleh memakai situasi mengerikan seperti sekarang sebagai dalih untuk melanggengkan kekuasaan sendiri dengan mengorbankan hak masyarakat.

Baca Juga: Tidak Taat Maklumat Kapolri Soal COVID-19, Kamu Bisa Dipidana!

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya