Buaya Muara di Palu: Cerita, Mitos dan Populasi

Sebagian warga Palu punya kepercayaan soal buaya

Palu, IDN Times - Keberadaan buaya muara di Palu, Sulawesi Tengah, diwarnai banyak cerita dari masyarakat. Terutama mereka yang tinggal sekitar Sungai Palu.

Balai Konserfasi Sumber Daya Alam (BKSDA) belum bisa memastikan populasi buaya muara di Sungai palu maupun di Teluk Palu. Koordinator Komunikasi Historia Sulteng, Moh Herianto mengatakan pada tahun 1957 hingga 1960, populasi buaya di Sungai Palu perlahan habis akibat sebagian masyarakat memburu dan mengkonsumsi daging buaya.

"Buaya kembali muncul di Sungai Palu sejak tahun 2000an pascabanjir di Kabupaten Sigi," tutur Herianto Kamis (1/4/2021).

Baca Juga: Buaya Besar Viral, 7 Jenis Buaya Ini Paling Berbahaya bagi Manusia

1. Cerita Suku Kaili soal buaya di Sungai Palu

Buaya Muara di Palu: Cerita, Mitos dan PopulasiIDN Times/Istimewa

Tossi Fischer, si penembak buaya dengan peluru emas masih terekam di memori warga Palu. Tossi bersama ayahnya, John Fischer warga Negara Jerman membunuh seekor buaya besar di Kampung Baru, Jembatan III, Palu, sekitar tahun 1957.

"Buaya besar yang dibunuh itu dibelah dan didapati potongan-potongan manusia di dalam isi perutnya. Semenjak itulah buaya makan manusia adalah cerita terakhir," cerita Herianto.

Dulu, buaya menjadi salah satu hewan yang disakralkan oleh Suku Kaili berdasarkan Manuskrip milik Keluarga kerajaan Sigi di Desa Bora. Manuskrip itu diawali dengan tulisan Syahadat dalam aksara arab Gundul. Dalam manuskrip itu tergambar jelas dua ekor buaya diantara hewan lainnya.

"Hal tersebut mengindikasikan bahwa buaya menjadi salah satu hewan yang disakralkan oleh orang Kaili sejak dahulu kala," kata Herianto.

Dia melanjutkan, buaya di Sungai Palu digunakan sebagai lambang kebesaran seorang Bangsawan. Tak hanya itu, senjata khas Suku Kaili adalah Guma Vo’o Kapuna yang berarti kepala buaya yang hanya dimiliki raja. Guma Vo'o Kapuna merupakan lambang kebesaran secara turun temurun pemegang takhta kerajaan.

"Bahkan pada zaman dulu, warga Suku Kaili di Kota Palu percaya jika buaya adalah salah satu penolak bala atau sial," ucapnya.

2. Mitos buaya di Sungai Palu

Buaya Muara di Palu: Cerita, Mitos dan PopulasiIDN Times/Kristina Natalia

Nurdin, 54 tahun, warga Jl Rajamoili, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur punya cerita tentang buaya di Sungai Palu. Ia meyakini buaya di Sungai Palu bukan satwa liar biasa. Bahkan Nurdin mengaku bersahabat dengan buaya berkalung ban yang viral setelah sayembara BKSDA 2020.

Tidak hanya itu, Nurdin juga menaruh kepercayaan bahwa akan terjadi bencana jika buaya di Sungai Palu diganggu. Inilah alasan warga di sekitar Sungai Palu tidak pernah menangkap buaya itu.

“Memang ada kejadian di Sungai Palu ini nelayan atau petambak pasir diserang buaya karena sebelumnya mereka yang ganggu buaya,” kata Udin.

"Masyarakat percaya buaya di Sungai Palu punya sifat bersahabat dengan manusia, kecuali orang itu duluan menyerang buaya itu,” tambahnya.

Menurut Nurdin, dengan cara adat buaya bisa diundang ke darat. Hal tersebut konon pernah dilakukan masyarakat dan tokoh adat sebelum bencana 28 September 2018. Caranya dengan menyiapkan ayam putih, pisang dan telur.

"Ada juga buaya hitam besar sekali, biasa buaya itu muncul setelah terjadi bencana dan sudah banyak buktinya," Nurdin mengisahkan.

3. BKSDA Sulawesi Tengah soal populasi buaya di Palu

Buaya Muara di Palu: Cerita, Mitos dan PopulasiDoc. Pribadi

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah belum bisa pastikan jumlah populasi buaya muara di Sungai Palu. Sebab untuk memastikan hal itu diperlukan penelitian.

Saat ini yang dilakukan BKSDA yakni memasang papan informasi di titik habitat buaya muara di Sungai Palu maupun pantai Teluk Palu.

Menurut Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Pangi BKSDA Sulawesi Tengah, Haruna, persediaan makanan buaya muara di Sungai Palu masih cukup. Pertumbuhan populasi buaya, kata dia, tidak cepat. Seekor buaya betina berukuran besar akan menghasilkan 90 telur dalam satu kali bertelur.

"Kemungkinan hidup hanya 20 persen dari jumlah telurnya. Itu pun faktor alam kembali akan memproses. Bisa juga tidak ada yang hidup karena buaya adalah satwa liar yang saling memangsa satu dengan yang lain,” tutur Haruna.

Meskipun begitu, BKSDA terus melakukan sosialisasi agar masyarakat tetap waspada jika melakukan aktivitas di habitat buaya muara.

4. Sayembara menangkap buaya berkalung ban

Buaya Muara di Palu: Cerita, Mitos dan PopulasiYahya M. Ilyas untuk IDN Times

Awal 2020, Kepala BKSDA Sulawesi Tengah, Hasmuni mengeluarkan statement sayembara penyelamatan buaya berkalung ban. Hal ini menjadi viral dan sejumlah ahli satwa maupun pemerhati hewan di Indonesia tertarik untuk mengikutinya.

Tak hanya ahli satwa dari berbagai provinsi di Indonesia, Tiga Wrga Negara Asing (WNA) ahli satwa asal luar negeri ikut membantu untuk melepaskan ban sepeda motor yang melilit di leher buaya, namun upaya itu belum berhasil. Ini ringkasan cerita tentang mereka:

Matt Wright, Australia

9 Februari 2020, ahli satwa asal Australia Matt Wright tiba di Kota Palu bersama Chris Wilson. Kedatangannya itu untuk penyelamatan, mengeluarkan ban yang terperangkap di leher buaya.

Selama kurang lebih delapan hari di Palu, Matt Wright yang kerap muncul di acara Outback Wrangler National Geographic itu belum berhasil menangkap buaya yang diperkirakan ukurannya lebih dari 3 meter.

Bahkan perangkap besi berbentuk persegi panjang dengan lebar 120 Centimeter, tinggi 100 centimeter dan panjang 400 centimeter tidak membuahkan hasil.

Farid Mekki, Prancis

Ahli satwa kedua yang ingin mencoba menangkap buaya berkalung ban yakni Farid Mekki asal Prancis. Ia tiba di Palu 22 Februari 2020, namun Farid tidak mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seperti yang dilakukan Matt Wright.

Jauh-jauh datang dari Prancis, Farid tak kunjung diizinkan BKSDA Sulawesi Tengah dengan alasan keamanan WNA yang melakukan aktivitas di wilayah Indonesia. 

Forres Galante, Amerika Serikat 

Warga negara asing selanjutnya adalah Forrest Galante. Ia merupakan ahli biologi satwa liar asal Amerika Serikat  yang menjalin kerjasama dengan Discovery Channel. Tim ini tiba di Palu dan mulai melakukan simulasi penangkapan buaya pada 10 Maret 2020.

Hampir sepekan di Palu, Forrest tak juga berhasil menangkap buaya berkalung ban dan izinnya tak lagi diperpanjang dengan alasan pandemi COVID-19.

Sejak itulah proses penyelamatan buaya berkalung ban dihentikan sementara hingga pandemi COVID-19 berakhir.

"Aksi-aksi ini cukup menimbulkan kerumunan sehingga kami hentikan dan belum ditahu pasti kapan akan dilanjutkan," jelas Haruna.

Baca Juga: Seorang Pria di Palu Digigit Buaya Muara, Lengan Kanan Nyaris Putus

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya