Tutup Pintu Pemulangan 600 Anggota ISIS Eks WNI

Anak-anak masih dipertimbangkan pulang ke Indonesia

Jakarta, IDN Times - Setelah beberapa pekan menjadi polemik, wacana pemulangan sekitar 600 eks warga negara Indonesia (WNI) anggota Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ke Indonesia akhirnya diputuskan. Pemerintah menyatakan tidak akan memulangkan mereka.

"Pemerintah tidak ada rencana memulangkan terorisme, bahkan tidak akan memulangkan Foreign Terrorist Fighters (FTF) ke Indonesia," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD usai rapat terbatas bersama Presiden Joko "Jokowi" Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (11/2).

Pemerintah berdalih faktor keamanan menjadi hal penting. Rasa aman warga harus diutamakan, karena itu merupakan kewajiban bagi negara kepada warganya. Karena tak tidak ada yang bisa menjamin keamanan jika pemerintah memulangkan anggota ISIS ke tanah air.

1. Pemerintah merasa tak aman jika memulangkan teroris ke Indonesia

Tutup Pintu Pemulangan 600 Anggota ISIS Eks WNIIlustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Memberikan rasa aman dari ancaman terorisme menjadi alasan utama pemerintah tidak memulangkan anggota ISIS. Karena tidak ada jaminan mereka tidak akan menularkan paham radikal atau kejahatan teror di Indonesia. 

"Pemerintah dan negara harus memberi rasa aman dari ancaman terorisme dan virus-virus baru teroris terhadap 267 juta rakyat Indonesia. Karena kalau FTF ini pulang itu bisa menjadi virus baru yang membuat rakyat 267 juta merasa tidak aman," ujar Mahfud.

Sementara, bagi anak-anak usia di bawah 10 tahun, pemerintah akan mempertimbangkan. Pemerintah akan selektif. Mereka akan dilihat kasus per kasus.

"Anak-anak di bawah 10 tahun akan dipertimbangkan case by case. Apakah anak itu di sana ada ortunya atau tidak," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu.

Terkait apakah mereka masih dianggap berstatus WNI atau tidak, pemerintah enggan membahas lebih jauh. Pemerintah tidak ingin mengambil risiko.

"Kan tidak aman kalau ada teroris yang dipulangkan, sehingga gak ada rencana pemerintah untuk memulangkan. Tapi bersama dengan itu akan cari data yang valid tentang jumlah dan identitas orang-orang itu," ucap Mahfud.

Baca Juga: ICJR: Perempuan dan Anak-anak Teroris ISIS Eks WNI Bisa Diadili

2. Perlu kajian keamanan, agama, hingga hubungan diplomatik

Tutup Pintu Pemulangan 600 Anggota ISIS Eks WNIYandri Susanto (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Di pihak lain, pemerintah diminta melakukan kajian mendalam terkait rencana pemulangan 600 WNI anggota ISIS di Suriah dan sekitarnya. Kajian mendalam pemulangan ISIS harus memperhatikan sejumlah sektor. Presiden Joko "Jokowi" Widodo harus menentukan keputusan masalah ini.

"Saya kira ini kan banyak melibatkan kementerian-lembaga, kajiannya harus mendalam, harus sempurna, tidak boleh parsial. Artinya dari sisi keamanan, dari sisi kemungkinan kehidupan beragama," kata Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (5/2).

Selain sektor keamanan dan agama, kajian hubungan diplomatik juga perlu dilakukan. Kajian ini harus melibatkan pihak-pihak terkait seperti Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Menko Polhukam, hingga Kementerian Agama.

"Artinya ini diputuskan sebaiknya oleh kepala negara, bukan oleh seorang menteri atau seorang Menko, karena sudah menyangkut hal yang sangat strategis, isunya kan sensitif," ujar Yandri.

Kajian mendalam ini tentunya perlu dibahas dalam rapat kabinet. Sebab, pemulangan ratusan WNI ini melibatkan lintas kementerian dan lembaga.

"Apakah itu ratas atau rapat paripurna itu terserah Pak Presiden, tapi yang mengeluarkan statement atau kebijakan sebaiknya Pak Presiden, karena ini menyangkut lintas kementerian dan lembaga," ucap politikus PAN itu.

Jika hasil kajian mendalam tersebut memberi akses kepada eks WNI, sepatutnya diterima dengan baik. Namun, sebaliknya, bila hasilnya tak memberikan akses pada pemulangan, pemerintah perlu berhati-hati.

"Kalau misalnya negara mengkaji 600 eks ISIS boleh kembali ke Tanah Air, kita terima dengan baik. Tapi kalau dari hasil kajian itu mungkin ada hal-hal yang membuat suasana tidak kondusif atau pro-kontranya tinggi, menurut kami, pemerintah perlu hati-hati. Artinya, dua opsi ini kita minta pada pemerintah untuk mengkaji secara mendalam," ujar Yandri.

Tutup Pintu Pemulangan 600 Anggota ISIS Eks WNIIDN Times/Arief Rachmat

3. Pemerintah masih mengkaji pemulangan WNI anggota ISIS

Tutup Pintu Pemulangan 600 Anggota ISIS Eks WNIPresiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu 5 Februari 2020 (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Presiden sebelumnya memang menolak pemulangan eks WNI ke Indonesia, namun masalah ini masih perlu dibahas dalam rapat terbatas.

"Kalau bertanya pada saya, ini belum ratas loh ya, kalau bertanya pada saya, saya akan bilang 'tidak'. Tapi masih dirataskan," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (5/2). 

Jokowi memastikan masalah ini perlu pertimbangan matang. Semua plus minusnya perlu dihitung secara detail.

"Keputusan itu pasti kita ambil di dalam ratas setelah mendengarkan dari kementerian-kementerian dalam menyampaikan. Hitung-hitungannya," kata dia.

Mahfud MD sebelum menyampaikan keputusan tidak akan memulangkan WNI anggota ISIS, menolak pemulangan teroris lintas negara ini. Namun, keputusan pemulangan WNI akan dibahas lebih lanjut bersama kabinet.

"Belum diputuskan karena ada manfaat dan mudarotnya masing-masing," kata Mahfud di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (5/2).

Ini seperti buah simalakama bagi pemerintah. Di satu sisi memulangkan WNI anggota ISIS bisa menjadi masalah dan virus baru di Indonesia. Apalagi para FTF meninggalkan Indonesia dengan kesadaran masing-masing untuk menjadi teroris. Jika memang kembali, mereka harus menjalani program deradikalisasi.

Di sisi lain, para FTF ini juga memiliki hak untuk tidak kehilangan statusnya sebagai warga negara Indonesia. Hal ini yang menjadi poin pertimbangan untuk memulangkan mereka.

"Kami sedang mencari formula, bagaimana aspek hukum serta aspek konstitusi dari masalah teroris pelintas batas ini terpenuhi semuanya. Kalau ditanya ke Menko Polhukam itu jawabannya," kata Mahfud.

Mahfud sendiri secara pribadi menolak pemulangan mereka, namun secara institusi tentu berbeda. "Kalau ditanya ke Mahfud tentu beda. Kalau Mahfud setuju untuk tidak dipulangkan karena bahaya bagi negara dan itu secara hukum paspornya bisa saja dicabut, ketika dia pergi secara ilegal ke sana, itu kan bisa saja," kata dia.

Dari banyak negara yang punya FTF, belum ada satu pun yang menyatakan akan memulangkan mereka. Kebanyakan dari negara lain lebih selektif dalam memulangkan FTF. Biasanya, anak-anak yatim yang akan dipulangkan.

Data Kemenko Polhukam mencatat ada sekitar 660 WNI yang diduga sebagai FTF di luar negeri. Mereka tersebar di berbagai negara, seperti Turki dan Afghanistan, termasuk Suriah tempat organisasi teroris ISIS berada. Kebanyakan di antara mereka terdiri dari wanita dan anak-anak.

4. Pemulangan WNI anggota ISIS menjadi kewajiban pemerintah

Tutup Pintu Pemulangan 600 Anggota ISIS Eks WNIIlustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Tidak mudah memang bagi pemerintah menolak atau menerima pemulangan eks WNI anggota ISIS yang sekarang ada di penampungan wilayah Iraq dan Turki.

Sederhananya, menurut Direktur Eksekutif Indonesian Muslim Crisis Center Robi Sugara, jika pemulangan tidak dilakukan, pemerintah akan berhadapan dengan persoalan HAM dan kelompok masyarakat sipil yang concern pada isu-isu HAM.

“Kemudian jika menerima, Indonesia belum memiliki kesiapan secara teknis meski sudah memiliki kelembagaan dan kelengkapan infrastruktur. Ini belum termasuk risiko dari kuatnya ideologi ISIS untuk dilakukan rehabilitasi dan deradikalisasi,” ucap Robi, Jakarta, Kamis (6/2).

Di sisi lain, pemerintah harus membuka mata dengan dua tujuan besar dari eks WNI yang kemudian pergi bergabung dengan ISIS. Pertama, adanya kebencian kepada negara dengan didasari karena tidak menggunakan hukum Tuhan dalam pemerintahan.

“Untuk selanjutnya mereka mencari wilayah yang sedang menegakan hukum Tuhan untuk selanjutnya mereka bergabung dan menjadi foreign fighters di sana. Orang yang memiliki tujuan ini tentu sangat berbahaya,” ujar Robi.

Tujuan kedua, karena mereka menginginkan penerapan syariat Islam yang itu tidak ditemukan di negaranya. Karena itu, mereka pergi ke tempat yang menurut mereka sedang menjalankan syariat Islam. Tetapi mereka tidak memiliki tujuan menjadi foreign fighters. Mereka hanya ingin menjadi warga biasa yang hidup di bawah naungan syariat Islam.

“Oleh karena itu, jika pemerintah punya kebijakan dalam menerima mereka pulang, saya kira yang tujuan kedua perlu dipertimbangkan untuk diterima kembali ke Indonesia. Cara penanganannya bagaimana, saya kira bisa melibatkan pemerintah provinsi Aceh yang saat ini wilayahnya sedang menjalankan syariat Islam. Jadi kepulangan mereka bisa dilakukan karantinanya di wilayah Aceh,” kata Robi.

5. Perusakan paspor bukan berarti status kewarganegaraan seseorang hilang

Tutup Pintu Pemulangan 600 Anggota ISIS Eks WNIIlustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Terkait kontroversi status kewarganegaraan, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan, dilihat melalui kacamata hukum, pembakaran paspor bukan tindakan menghilangkan status kewarganegaraan. Sehingga apabila anggota ISIS asal Indonesia merusak atau membakar paspor, mereka masih berstatus WNI.

Namun, pembakaran paspor termasuk tindakan pidana, karena merusak dokumen negara. Dengan demikian, logika tentang kehilangan status WNI karena bakar paspor, tidak lah benar.

“Yang jelas, bakar paspor itu pidana karena menghancurkan dokumen negara, kan kalau bakar paspor terus pindah kewarganegaraan itu nanti saya bakar pergi ke Finlandia aja, saya bakar paspornya, lumayan pindah gratis,” ujar Anggara saat dihubungi IDN Times, Senin (10/2).

Apabila merujuk Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, seseorang akan dianggap kehilangan status WNI apabila menjadi bagian dari dinas tentara asing. Sedangkan, ISIS hanya sebuah organisasi terorisme dan bukan negara asing.

“Kalau mereka (anggota ISIS asal Indonesia) dianggap sebagai yang berperang di dinas tentara asing, berarti secara politik pemerintah Indonesia mengakui ISIS memiliki negara, padahal itu kan gak diakui. Jadi mereka tetap jadi warga negara Indonesia, karena undang-undang kita pun melarang kedudukan stateless,” kata Anggara.

Karena status WNI yang masih melekat pada anggota ISIS asal Indonesia tersebut, maka seharusnya mereka dipulangkan ke tanah air. Tentunya, bukan hanya dipulangkan, tetapi mereka juga bisa diadili.

“Mereka sebaiknya dipulangkan dan diadili di Indonesia, karena apa? Jadi gini, kan ada beberapa orang yang terlibat secara aktif ya berperang dan segala macam. Itu kan pelanggaran hukum, baik itu hukum pidana atau pun KUHP yang diatur di KUHP ataupun di undang-undang antiterorisme,” kata Anggara.

Untuk mengadili anggota ISIS asal Indonesia, pemerintah Indonesia harus menjalin hubungan kerja sama dengan beberapa negara seperti Irak, Suriah, dan Turki. Ini akan membantu proses pengumpulan bukti dan saksi dalam menentukan peradilan.

“Untuk misalnya menghadirkan saksi-saksi (yang dapat) menyuguhkan barang bukti yang relevan, gitu prosesnya sih, seharusnya dipulangkan,” kata Anggara.

Baca Juga: Menimbang-nimbang Pemulangan Eks WNI Kombatan ISIS di Suriah

Topik:

  • Anata Siregar
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya