Pemilu 2024: Saatnya Melawan Politik Identitas Penggerus Toleransi 

Masyarakat khawatir Pemilu 2024 diwarnai politik identitas

Makassar, IDN Times - Indonesia merupakan rumah bersama yang dibangun dengan pondasi kemajemukan, di mana penghormatan atas keberagaman agama, kepercayaan, budaya, dan suku bangsa menjadi tiang pancang identitas Nusantara. Adanya polarisasi perbedaan untuk kepentingan politik dan golongan tertentu, niscaya akan mengikis harmoni lalu memicu peristiwa intoleransi di tengah kehidupan masyarakat Tanah Air.

Letupan intoleransi di Indonesia masih kerap terjadi. Dalam catatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsial, sepanjang tahun 2022, terjadi setidaknya 25 peristiwa intoleransi terkait pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Paling banyak yaitu kasus perusakan tempat ibadah dan larangan mendirikan tempat ibadah.

Di Indonesia, pendirian rumah ibadah bagi penganut agama dan kepercayaan minoritas sering berhadapan dengan larangan dari kelompok intoleran. Yani (bukan nama sebenarnya) sampai pada titik lelah menanti izin pembangunan gereja di Kota Surabaya, Jawa Timur, setelah puluhan tahun berjuang.

Tahun 1977 silam, suami Yani membangun sebuah gereja di Kecamatan Sawahan. Gereja itu adalah cabang dari Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Arjuno. Semua izin telah ia kantongi, termasuk izin dari warga sekitar. 

"Tapi izinnya itu cuma tetangga kanan kiri depan saja yang setuju, sebagain warga lain tidak setuju," kata Yani kepada IDN Times, usai berbicara dalam forum seminar kebangsaan di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Sabtu (19/11/2022).

Saat gereja tersebut mulai direnovasi pada tahun 1997 dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dirurus, banyak orang baru pindah ke wilayah tempat Yani tinggal. Mereka kemudian meminta Gereja ditutup.

"Waktu kami kebaktian, mereka minta gereja untuk ditutup. Tutup, tutup gitu." Kata Yani, warga takut adanya kristenisasi jika gereja tidak ditutup.

Baca Juga: Di Atas Semua Agama, Dasarnya Itu Cinta

Politisasi isu-isu identitas saat Pemilu

Pemilu 2024: Saatnya Melawan Politik Identitas Penggerus Toleransi Ilustrasi bendera partai politik (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Pelaku pelanggaran toleransi, dalam catatan Imparsial, mulai dari individu maupun kelompok di dalam masyarakat, bahkan pemerintah. Dari deretan kasus intoleransi di Indonesia, pelaku merupakan warga yang termakan provokasi. Hal ini menujukkan negara tidak tegas dalam menegakkan hukum. Pada beberapa kasus, pemerintah bahkan mengeluarkan kebijakan kontra toleransi dengan mengistimewakan kelompok tertentu dengan alasan sebagai kelompok mayoritas.

Koordinator JAKATARUB Jawa Barat, Arfi Pandu Dinata mengatakan bahwa politik identitas ini timbul bukan hanya karena dari masyarakatnya semata. Namun ada campur tangan para calon yang ingin dipilih, baik itu Pilpres, Pilkada, atau Pileg. Mereka biasanya menjanjikan sesuatu pada kelompok tertentu untuk memenangkannya.

Hasil dari kemenangan tersebut kemudian bisa menjadi sebuah produk hukum yang mendukung kelompok tertentu. "Perda syariah, kemudian perda P4S di Bogor, Perda Tata Nilai di Tasik, dan beberapa aturan di daerah. Produk itu mungkin hasil tawaran pada musim politik," ujar Arfi saat berbincang dengan IDN Times, Jumat (18/11/2022).

Kebijakan-kebijakan yang kemudian memihak pada kelompok tertentu bisa menimbulkan ketidakamanan pada kelompok minoritas yang dampaknya akan buruk di tengah kemajemukan masyarakat Jawa Barat.

Sikap negara yang mengistimewakan kelompok mayoritas, menjadi sinyalemen buruk menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. Sebab, potensi perpecahan akibat politisasi isu-isu identitas kembali menyeruak dan memperucing polarisasi politik masyarakat. Kekhawatiran akan dampak politik identitas pada momentum politik elektoral, terekam dalam survei Litbang Kompas pada 8-10 November 2022, di mana 77,8% responden khawatir hilangnya toleransi pada Pemilu 2024.

Kekhawatiran pada potensi perpecahan karena politisasi identitas, menjadi perhatian Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) pada Pemilu 2019 lalu. Riset mereka mengungkap fakta bahwa konteks kontestasi pilpres saat itu merupakan residu dari tajamnya polarisasi politik identitas yang terjadi pada Pilpres 2014 dan Pilgub DKI Jakarta 2017. "Dengan kata lain, ada semacam dinamika kontestasi dan polarisasi yang terus dirawat." Pada pilpres 2019, pasukan siber masing-masing capres juga disebut menjadi pendengung hal-hal yang tidak programatik, alih-alih mengedepankan wacana-wacana substantif seperti visi-misi para capres.

Maraknya politik identitas di Indonesia

Pemilu 2024: Saatnya Melawan Politik Identitas Penggerus Toleransi IDN

Cebong, kadrun, dan kampret merupakan tiga istilah yang muncul dalam diskursus politik  menjelang Pilpres 2019. Tiga istilah ini merupakan labelisasi terhadap masing-masing pendukung dua calon presiden, Jokowi dan Prabowo. Pada dasarnya tiga istilah ini memiliki konotasi negatif pada makna sebenarnya. Penyematan kata-kata tersebut kepada masing-masing kelompok pendukung capres, turut berdampak buruk dengan terciptanya fanatisme kelompok yang saling menyerang identitas.

Pakar komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Triyono Lukmantoro, mengatakan politik identitas dulu dan sekarang berbeda. Pada Pilpres 2004 dan 2009, isu-isu tentang identitas sebatas gender. Yang diserukan adalah jangan memilih presiden perempuan karena tidak sesuai dengan ajaran agama.

‘’Kalau kini kan beda, jangan pilih pemimpin yang tidak seiman dengan kamu. Sehingga, ini saya kira beda. Politik identitas tentang agama ini muncul sejak tahun 2014, 2017 dan 2019. Termasuk pada saat Jokowi mencalonkan presiden, ia juga memakai politik identitas dengan memanfaatkan Ma’ruf Amin yang menjabat sebagai Ketua MUI yang pada saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan fatwa bahwa Ahok penista agama. Demikian juga, Prabowo menggunakan tokoh Ketua Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Sihab yang gemar menggunakan politik identitas,’’ ungkapnya.

Politik identitas digunakan karena itu cara yang paling murah dan paling mudah, menurut Triyono. Apalagi, ketika tingkat kereligiusan, tingkat kesalehan diukur sebagai aspirasi untuk memilih seorang pemimpin.

Penyebab masih maraknya politik identitas di Indonesia, menurut dosen Sosiologi Universitas Negeri Makassar (UNM), Bahrul Amsal, karena kecenderungan pemilih di Indonesia belum dewasa dalam berpolitik. Mereka masih terjebak pada simbol-simbol dan pencitraan yang mengatasnamakan agama, ras, dan suku padahal situasi ini sebenarnya tidak sehat bagi proses politik jangka panjang.

"Kedewasaan politik itu tidak melihat keunggulan dari identitas melainkan gagasan dan visi. Akibatnya, dikarenakan belum matang dalam kedewasaan politik, toleransi menjadi terancam, dan berpeluang melahirkan perpecahan kembali," kata Bahrul kepada IDN Times.

Salah satu faktor yang membuatnya selalu muncul yaitu kecenderungan masyarakat tertarik pada simbol identitas, khususnya yang melekat dengan masyarakat. Mereka akan lebih tertarik dengan sesuatu yang memiliki persamaan identitas dengannya.

"Simbol-simbol lebih simpel dan gampang untuk menarik perhatian, membuat tidak sedikit orang lebih mudah menerima tanpa mencerna terlebih dahulu. Kemudian, karakter sebagian besar pemilih yang belum mencapai taraf pemikiran politik di tingkat gagasan," katanya.

Mencegah politik identitas

Pemilu 2024: Saatnya Melawan Politik Identitas Penggerus Toleransi Ilustrasi politik. (Unspalsh/Maarten van den Heuvel)

Politik identitas memang masih menjadi PR bersama dalam dunia perpolitikan. Walau terus berulang, namun politik identitas sebenarnya bisa dicegah agar tidak mengobrak-abrik keharmonisan masyarakat. 

"Bentuk-bentuk penyelesaiannya bisa dikembalikan ke pihak-pihak terkait, terutama misalnya kepada partai politik untuk memberikan edukasi ke masyarakat akar rumput terkait bahaya laten politik identitas," kata Bahrul.

Setelah itu, urusan politik identitas diserahkan kepada semua tokoh dan elemen masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar mereka ikut serta memberikan pencerahan yang berisi termasuk bahwa berpolitik itu tidak sama dengan beragama.

"Jadi, tidak usah terlampau fanatik dan bersikeras dengan pemujaan identitas berlebihan. Toh, pada kenyataannya identitas itu berlapis-lapis, cair, dan tidak tetap," katanya.

Harapan untuk meminimalisasi praktik politik identitas, dikemukakan sejumlah komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) berbagai provinsi.  Komisioner KPU Kota Banjarmasin, Taufikkurokhman menyebutkan, pihaknya sebagai penyelenggara Pemilu rutin memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Program kerja Divisi Sosialisasi Pemilih Partisipasi Masyarakat dan SDM ini dilaksanakan kerja sama KPU Banjarmasin, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Ia mengatakan, masyarakat Banjarmasin harus memahami arti penting pendidikan politik untuk menjaga toleransi dalam masyarakat. "Wawasan warga tentang politik menjadi semakin bertambah sehingga dapat menangkal hal hal kejahatan politik. Maupun hal yang dapat merugikan pesta demokrasi mendatang," katanya.

Demikian halnya disampaikan Ketua KPU Provinsi Lampung, Erwan Bustami. Menurutnya, KPU Lampung sudah mulai membangun kesadaran para elite politik hingga lapisan masyarakat Lampung agar tidak ikut memanfaatkan isu-isu politik identitas menyosong tahun politik 2024.

"Kami di Lampung, sejak dimulainya tahapan Pemilu sudah ada komitmen bersama antara Forkopimda, partai politik, hingga penyelenggara Pemilu untuk membangun situasi kondusif dalam proses tahapan Pemilu. Ini bahkan langsung difasilitasi pak gubernur," imbuhnya.

Ketua KPU NTB Suhardi Soud, juga demikian. Ia berharap partai politik memilih calon kepala daerah ataupun calon aggota legsilatif yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip toleransi dan kesetaraan. "Jadi tidak ada untuk segmen tertentu, kemudian untuk suku tertentu atau wilayah tertentu," kata Suhardi.

Nana Miranti, komisioner KPU Kota Medan menyampaikan untuk menghindari politik identitas saat pesta demokrasi, pihaknya membuat aturan yang menyatakan tidak boleh menyinggung ras, menyinggung agama, atau menjelekkan suku tertentu. 

"Pada saat kampanye ini sudah dilarang. Itu salah satu antisipasi supaya tidak memicu kericuhan," katanya.

Peristiwa intoleransi menjadi perhatian publik, termasuk kalangan millennials yang menolak praktik politik identitas yang mengancam kerukunan. Made Dika (19), remaja asal Kota Semarapura, Klungkung Bali, mengaku tidak sepakat dengan politik yang menonjolkan perbedaan, baik terkait ras ataupun agama.

“Kalau politik banyak bicara tentang agama tentu tidak baik. Nanti bisa mengganggu kerukunan umat beragama,” ungkapnya. 

Hal serupa diungkapkan Gede Bagus Diarta (24), asal Desa Takmung, Klungkung. Menurutnya politik identitas sangat rawan karena bisa menganggu toleransi umat beragama yang sudah terjaga dengan baik di Klungkung.

“Kalau dibiasakan politik identitas, bisa mengganggu toleransi. Apalagi sekarang ada media sosial, politik identitas ini sangat mudah digaungkan. Masyarakat bisa terbelah, cuma karena politik identitas yang biasanya mencampuradukkan politik dan agama,” ungkapnya.

Politik identitas merupakan ancaman serius pada kebhinekaan Indonesia. Untuk mengantisipasi muncul dan maraknya politik identitas pada Pemilu 2024, segala bentuk aktivitas politik yang menggerus toleransi harus ditindak tegas dan adil. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi seluruh masyarakat Indonesia.

Selamat Hari Toleransi Internasional

Penulis:

Ashrawi Muin, Debbie Sutrisno, Masdalena Napitupulu, Wayan Antara, Tama Wiguna, Muhammad Nasir, Sri Wibisono, Anggun Puspitoningrum.

Baca Juga: Politik Identitas Ancam Toleransi Masyarakat

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya