Pemilu 2024, Panggung Harapan bagi Gen Z

Minat politik anak muda mesti dibarengi literasi politik

Makassar, IDN Times - Pada tahun 2017, Arya Seno Bagaskoro, seorang siswa SMA Negeri 5 Surabaya, Jawa Timur, menginisiasi aksi pelajar di kotanya. Dia bersama sekitar 30 siswa lintas sekolah menemui Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf untuk berdialog soal persoalan akibat pelimpahan kewenangan SMA/SMK ke pemerintah provinsi. Salah satunya keluhan siswa yang tidak kuat membayar SPP.

Seno, yang dikenal sebagai pendiri Aliansi Pelajar Surabaya (APS), tampil sebagai tokoh gerakan politik di usia belia. Enam tahun berselang, Seno berstatus mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair). Kini dia terjun ke politik arus utama dengan bergabung bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pilihan berpolitik berawal dari keresahannya tentang kebijakan yang terkadang tak sesuai dengan keinginan anak muda atau Generasi Z seperti dirinya.

Di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang, kata Seno, bukan hanya dirinya yang bangga menjadi bagian dari partai politik. Melainkan semakin banyak Gen Z yang tidak ragu menunjukkan identitasnya sebagai bagian dari politik. Menurut pria kelahiran 23 Agustus 2001, itu bagus sebagai penyeimbang parpol yang selama ini hanya diisi orang tua.

“Anak-anak muda harus masuk untuk menyeimbangkan gagasan itu. Parpol ini bisa mengerti juga keinginnan dan kehendak anak muda,” kata Seno pada program Ngobrol Seru yang ditayangkan langsung di Instagram IDN Times, Jumat (24/2/2023). 

Seno menganggap bahwa lewat partai politik, Gen Z akan membawa gagasan tentang keresahan yang selama ini mereka hadapi. Misalnya, tentang sulitnya mencari pekerjaan, perubahan iklim, hingga soal Artificial Intelligence (AI). 

“Aku juga ngajak teman-teman berpartai Politik. Kita berpartai politik dengan bersuka ria, gak ada bayangan kita mempertahankan kursi. Yang kita bawa adalah isu-isu yang penting untuk masa depan,” ungkapnya.

Usia muda juga tidak menghalangi niatan Almira Nabila Fauzi memasuki gelanggang politik. Dara berusia 24 tahun itu itu berkeinginan menuangkan solusi hingga gerakan baru bagi masyarakat. Dia memilih bertarung di pencalonan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Lampung.

Tumbuh besar di lingkungan politik, Almira, mengaku sudah terbiasa mendengar isu maupun bahasan politik dari lingkungan orang-orang sekitar sejak bangku sekolah. Tak heran, sebab dia adalah putri sulung Wakil Bupati Pringsewu periode 2017-2022, H Fauzi.

"Saya merasa di tahun-tahun sebelumnya hanya bisa mendengarkan dan bersuara tentang isu-isu politik dengan orang-orang sekitar. Saya rasa ini waktunya, berbuat untuk masyarakat Lampung," ujarnya kepada IDN Times, Kamis (23/2/2023).

Almira memilih DPD karena dianggap punya penampungan cangkupan aspirasi masyarakat lebih luas, dibanding lembaga legislatif DPR atau DPRD yang hanya menaungi suatu daerah pilihan tertentu. Selain itu, lembaga DPD juga memiliki kolerasi penghubung aspirasi langsung ke pemerintah pusat.

"Kita dapat menciptakan solusi atau gerakan baru yang lebih leluasa, karena bekerja langsung menghubungkan daerah dengan pusat," ucapnya.

Seno dan Almira potret dari Gen Z yang melek politik. Kesadaran mereka terhadap politik terbantu lewat konsumsi berita dan informasi yang lebih cepat dan bebas di era digital, dibandingkan generasi sebelumnya.

Sebagai gambaran, lebih dari separuh atau 53 persen Gen Z mengatakan bahwa mereka mengakses berita politik dengan frekuensi bervariasi. Itu merupakan hasil riset Gen Z Report 2022 yang diterbitkan IDN Research Institute bekerja sama dengan Populix. Survei melibatkan seribu responden dari 12 kota pada 27 hingga 7 Maret 2022.

Meski banyak juga di antara Gen Z yang jarang mengakses berita politik, bukan berarti mereka tidak peduli. Pada tahun 2019, mahasiswa Indonesia dari 26 universitas di bawah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia mengadakan demonstrasi terbsesar setelah tahun 1998, yang dikenal sebagi gerakan Reformasi Dikorupsi. Di 2020, mahasiswa memprotes pembahasan Omnibus Law lewat aksi demonstrasi, kemudian berlanjut di 2022 saat mereka memprotes wacana penundahaan Pemilu 2024 yang dikaitkan dengan peluang periode ketiga bagi Presiden Joko Widodo.

Gen Z tidak hanya mengambil peran lewat gerakan politik secara aktif. Pada Pemilu 2024, jumlah mereka bersama milenial diperkirakan 60 persen dari total pemilik hak suara. Tak berlebihan jika Gen Z disebut sebagai penentu masa depan, karena keputusannya akan menentukan calon pemimpin lima tahun ke depan lewat pemilu. Menurut Gen Z Report 2022, 41 persen Gen Z siap menggunakan hak pilihnya, 30 persen netral, dan 29 persen menyatakan tidak peduli.

Seperti apa kekuatan Gen Z di politik dan bagaimana mereka berpartisipasi? Lalu apa harapan mereka jelang Pemilu 2024? Simak ulasannya berikut ini.

1. Optimisme anak muda di balik gaya baru berpolitik

Pemilu 2024, Panggung Harapan bagi Gen ZArya Seno Bagaskoro, Gen Z yang memilih masuk partai politik. (Dok. Arya Seno Bagaskoro)

Survei lain yang dilansir Aksara Research and Consulting pada 21 Desember 2022 mengungkap bahwa minat anak muda terjun ke politik praktis masih rendah. Hanya 13,6 persen anak muda yang menyatakan berminat menjadi anggota partai politik.

Di antara tak banyak anak muda yang berkecimpung di politik praktis, M Ripzy Abdul Latif (24) memantapkan diri mengambil pengabdian di jalur itu. Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram tahun 2021 itu ingin berkontribusi membangun daerah dengan menjadi kader parpol. Sebelumnya dia sudah aktif berorganisasi di kampus.

"Ketika keluar dari kampus akan menambah pengalaman, maka kita masuk politik praktis," kata Ripzy yang masuk jajaran pengurus DPW Partai Solidaritas Indonesia (PSI) NTB. 

Banyak orang awam yang mengatakan bahwa politik adalah hal yang buruk. Tetapi menurutnya, itu anggapan orang yang melihat dari luarnya saja. Dengan terjun langsung di dalamnya, banyak hal yang bisa diperbuat melalui jalur politik untuk perubahan suatu daerah dan bangsa.

Ripzy mengatakan, pengabdian lewat jalur politik praktis bisa sangat luas. Yaitu, bagaimana berpikir bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi dapat berbuat bagi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Politik itu tidak sekadar masalah kekuasaan, tetapi, menurutnya, politik adalah bagaimana memanusiakan manusia.

Lewat jalur politik, anak muda bisa mendorong kebijakan-kebijakan pemerintah lebih baik lagi ke depannya. Ia memberikan contoh seperti di NTB, di mana kasus kekerasan di dunia pendidikan terhadap perempuan dan anak masih menjadi isu krusial. Dengan terjun ke dunia politik, masalah tersebut lebih mudah disuarakan agar dilakukan pembenahan-pembenahan oleh pemerintah daerah. Begitu juga masalah lingkungan dan perubahan iklim.

"Sehingga atas dasar itu saya membesarkan hati, meminta pendapat teman-teman, berdiskusi dengan teman-teman yang lain. Sehingga hati saya mantap ikut terjun ke dunia politik praktis," tuturnya.

Di usia yang sama, 24 tahun, Rivo Derry Kumara juga memilih terjun ke dunia politik. Anak mendiang Margiono, eks Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu, berencana mencalonkan diri sebagai anggota parlemen di DPRD Tangerang Selatan, Banten, pada Pemilu 2024. Dia bercita-cita mengawal pembangunan di Tangsel, kota di mana ayahnya jadi salah satu pendiri.

Rivo memilih Partai Golkar sebagai kendaraan politik. Dia mengatakan telah lama belajar dari almarhum ayahnya lewat berbagai kegiatan sosial politik. Dengan nilai-nilai kehidupan yang telah dia dapatkan, Rivo memutuskan untuk bertarung di 2024.

"Saya ingin memberikan pengabdian yang masih muda ini agar bermanfaat. Karena dalam politik banyak saluran yang bisa kita gunakan untuk melayani masyarakat dengan lebih baik," kata lulusan Universitas Prasetya Mulya tersebut. 

Dalam menuju kursi legislatif, Rivo mengaku tak neko-neko dan melakukan dengan apa adanya. Sejak lama, dia mengaku sudah aktif membantu lingkungan dan ikut serta dalam kegiatan sosial.

"Saya orangnya terbuka untuk menampung aspirasi untuk kita saling diskusi bersama. Semoga masyarakat mendukung apa yang menjadi cita-cita bersama untuk membangun kota Tangsel ini." ungkapnya.

Dia juga mengklaim, tujuan ke dunia politik bukan untuk mencari pundi-pundi, melainkan murni mengabdi pada publik. "Saya berkomitmen penuh untuk membuang jauh-jauh yang namanya korupsi atau segala macam itu, nggak lah,” kata dia. 

Di balik optimisme anak-anak muda di kancah politik, mereka menawarkan warna baru. Seno mengungkapkan bagaimana pemanfaatan teknologi bisa saluran tepat untuk menggalang dukungan dan menyalurkan aspirasi.

Gen Z sejak lahir sudah dihadapkan dengan perkembangan teknologi informasi, di mana mereka dapat mengkases informasi dengan sangat mudah dan cepat. Menurut Zeno, kehidupan Gen Z akan tidak jauh dari penggunaan teknologi, termasuk dalam politik praktis.

“Aku rasa gaya politik gen z tidak lepas dari media sosial,” tutur dia. 

Menurut Seno, Gen Z akan menggunakan alat berupa media sosial untuk mencari sosok pemimpin yang tepat bagi dirinya, pemimpin yang memiliki gagagsan dan kebijakan sesuai harapan Gen Z. Mereka akan cenderung melihat track record calon pemimpin melalui media sosial. Di sisi lain, medsos jadi sarana interaksi dua arah yang efektif.

“Anak muda akan demen dengan politisi yang bisa menjawab persoalan di masyaralat dan melaporkannya lewat media sosial, sehingga masyarakat bisa memantau,” ungkap dia.

2. Parpol mendorong anak muda terjun ke politik praktis, dianggap masih minim gagasan

Pemilu 2024, Panggung Harapan bagi Gen ZDiskusi Milenial & Gen Z Kunci Kemenangan di Pemilu 2024 By IDN Times (IDN Times/Ilman)

Menjelang Pemilu 2024, parpol mulai memanaskan mesin organisasi untuk menggaet para pemilih. Selain sebagai sasaran pendulang suara, sejumlah parpol juga membidik generasi milenial dan Gen Z untuk menjadi kader yang akan terjun ke masyarakat sebagai legislatif maupun eksekutif.

Seperti Partai Golkar yang mendorong anak-anak muda berkarier di politik. Partai dengan popularitas tertinggi di kalangan milenial dan Gen Z menurut survei Lembaga Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) memberikan ruang terbuka kepada anak-anak muda berkiprah menjadi calon legislatif Partai Golkar.

Wakil Ketua DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Hani Hapsari Ramayana mengatakan, Golkar merupakan partai yang memberikan ruang kepada anak-anak muda menjadi kader. Selain itu, Golkar juga mendorong kader-kader muda untuk memenangkan kompetisi dalam pemilu.

‘’Kami mempersiapkan anak-anak muda ini untuk terjun ke politik melalui Golkar Institute. Dalam wadah tersebut kader muda Partai Golkar berusia di bawah 40 tahun akan mendapatkan pendidikan politik,’’ ungkapnya kepada IDN Times, Jumat (25/2/2023).

Sejak tahun 2019 setiap tahun Golkar Institute melakukan seleksi kepada kader-kader muda untuk bisa mengikuti edukasi politik. Adapun, syarat seleksi tersebut antara lain memahami kemampuan bahasa Inggris, memiliki motivasi yang kuat di politik, dan paham dengan digitalisasi.

Melalui pendidikan politik tersebut Partai Golkar membentuk anak-anak muda bisa bersosialisasi dengan masyarakat sesuai branding organisasi. Selain itu, juga memberikan edukasi bahwa terjun ke politik itu bukan hal yang tabu.

‘’Gaya politik Partai Golkar terbuka bagi anak muda, bahkan kami sudah manfaatkan media sosial sebagai wadah kader untuk bersosialisasi. Dari situ banyak masukan dari masyarakat yang bisa kami tindaklanjuti sebagai kader partai atau legislatif,’’ tutur perempuan berusia 41 tahun itu.

Selain melalui Golkar Institute, Partai Golkar juga melakukan edukasi politik ke perguruan tinggi dengan menggelar seminar atau workshop untuk mahasiswa. Upaya ini agar mereka sadar politik sekaligus untuk menggaet anak-anak muda untuk terjun ke politik menjadi politisi.

‘’Langkah tersebut efektif untuk merangkul anak-anak muda. Terbukti kini 30 persen kader Partai Golkar adalah generasi muda usia milenial dan Gen Z. Kehadiran mereka sangat membantu dalam memberikan ide-ide segar. Kreatif dan memiliki jiwa sosial,’’ ujar Hani yang sudah 16 tahun menjadi kader Partai Golkar itu.

Adapun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membawa dua isu spesifik untuk menyasar gen Z jelang Pemilu 2024. Jubir Milenial PKB, Ais Shafiyah Asfar, mengatakan dua isu tersebut dibawa ke dalam program PKB Institute dan Panggung Saatnya Beraksi.

"Jadi, dua panggung itu kami harap karena dari Gen Z dua isu paling digandrungi itu lingkungan dan hak kesetaraan, dari PKB ingin masuk dari dua isu itu untuk bisa merangkul Gen Z dan milenial," ujar Ais di acara Gen Z Memilih By IDN Times di kantor IDN Media, Jakarta Selatan, Rabu (22/2/2023).

Ais menjelaskan, setiap pekan, PKB selalu membahas mengenai isu lingkungan dengan aktivis muda. Selain itu, pemerataan hak pekerja, hak disabilitas turut dibahas di panggung Saatnya Beraksi.

"Menurut saya sekarang itu concern-nya itu di dua itu tadi ya, karena kita melihat dari pasar yang dibutuhkan itu dari Gen Z itu, dari isu lingkungan dan hak pekerja dan kesetaraan disabiltias," ucap dia.

"Jadi saya rasa jika PKB menang di 2024 saya harap, atau kami sebagai partai PKB isu lingkungan ini memiliki undang-undang yang tegas dan penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk bekerja, dan uang pekerja seperti uang cuti itu bisa disuarakan," sambung Ais.

Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago menjelaskan, jelang Pemilu 2024 tak dipungkiri semua parpol mulai mendekati anak muda. "Karena mereka ingin mendekati pemilih potensial," kata dia saat dihubungi IDN Times, Senin (20/2/2023).

Namun, menurut Arifki, anak muda harus lebih kritis dalam melihat keberpihakan tersebut. Menurut Arifki, parpol mana yang berpihak pada Generasi Milenial dan Gen Z bisa dilihat dari struktural dan arah kebijakannya, bukan sekadar mulai aktif melibatkan maupun membahas isu anak muda.

"Artinya, yang paling kita lihat bagaimana kepentingan-kepentingan anak muda diperjuangkan. Banyak partai yang klaim belakangan ini jadi anak muda, karena mereka memunculkan figur baru di level jubir atau lainnya," tutur Arifki.

Di samping itu, kata Arifki, tolok ukur yang bisa dilihat ialah struktural parpol di mana mereka memberikan kesempatan anak muda berperan aktif. Dia lantas menyoroti parpol yang identik dengan politik keluarga. Sistem tersebut tentu menyuburkan budaya nepotisme yang tidak sesuai dengan prinsip Milenial dan Gen Z.

"Kalau kita ingin lihat bagaimana parpol yang respons suara anak muda bisa dilihat bahwa parpol itu bukan milik keluarga. Artinya, generasi muda punya ruang untuk berkiprah di sana," imbuh dia.

Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Abid Al Akbar, menilai jelang Pemilu 2024 masih minim gagasan. Padahal, Abid menilai, gagasan tersebut jadi salah satu faktor yang menentukan pemilih muda untuk menentukan pilihannya terhadap parpol atau kandidat.

"Menurut ku, hal yang masih jadi abstrak di lingkungan partai politik itu gagasan ya," kata dia saat menghadiri talkshow GenZMemilih bertajuk Jurus Jubir dan Politisi Muda Partai Gaet Gen Z di kantor IDN Times, Jakarta Selatan, Rabu (22/2/2023).

Seharusnya, kata Abid, parpol bisa menawarkan gagasan yang jelas kepada para pemilih. Sehingga setiap parpol memiliki identitas gagasan yang menarik bagi pemilih muda. Di sisi lain, pemilih muda jika diperkaya dengan berbagai gagasan dari parpol soal permasalahan bangsa.

"Itu yang saya kira, satukan dulu gagasan setiap partai apa saja. Itu bisa membentuk pola pikir, dialetika antar parpol, sehingga anak muda tidak cenderung masuk dalam hal yang sifatnya praktis dan transaksional," ujar Abid.

3. Sebagai pemilih mayoritas, Gen Z butuh literasi politik

Pemilu 2024, Panggung Harapan bagi Gen ZIlustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

IDN Times mewawancarai Tiktoker dengan pengikut 1,3 juta, Rian Fahardhi, yang dijuluki Presiden Gen Z. Dia menyampaikan pendapatnya soal partai politik dan kondisi politik terkini.

Menurut Rian, yang dibutuhkan saat ini adalah menggaungkan pentingnya literasi politik. Penting bagi Gen Z mengetahui program, tujuan, dan ke mana politik mengarah. Dan itu butuh peran semua pihak, baik mahasiswa, parpol, pemerintah, media massa, dan sebagainya.

Rian menganggap komunikasi politik yang terbangun selama ini cenderung satu arah alias tidak timbal balik. Ada anggapan bahwa anak muda tidak perlu dilibatkan karena belum berpengalaman, tidak punya basis massa, dan belum terukur kapasitas intelektualnya.

“Nah, itu yang saya pikir harus dijagalah agar memberikan kesempatan bagi anak muda, entah di tingkat berpartisipasi secara aktif di ruang politik atau mungkin sebagai followers aja,” katanya.

Partai politik, kata Rian, harus memberikan harapan kepada anak muda tentang bagaimana aktif dan berpartisipasi. Bukan sekadar memposisikan atau memanfaatkan anak muda untuk kepentingan tertentu, melainkan untuk peran yang lebih jauh.

“Gimana cara politik bisa mendekati Gen Z? Ya, membawa gagasan bukan pencitraan. Lagi-lagi kita bicara soal politik kinerja bukan politik citra. Jadi, anak muda tuh paling anti kalau kita misalnya bicara dengan pencitraan berlebih. Pencitraan bagus, tapi ya sewajarnya aja,” katanya.

Generasi Z atau biasa disebut Gen Z memiliki peranan penting dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pasalnya mereka akan menjadi salah satu basis pemilih terbanyak sehingga akan jadi rebutan berbagai partai politik (parpol) di Indonesia.

Namun, bukan perkara mudah untuk menarik perhatian Gen Z untuk memilih salah satu calon peserta pemilu atau salah satu parpol. Pasalnya, mereka sudah akrab dengan media sosial sejak dini, sehingga telah terliterasi dengan berbagai pengetahuan.

Pengamat Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Wahyu Winarjo mengatakan secara kuantitas, Gen Z tentu determinan. Sebab, struktur jumlah penduduk Indonesia seperti piramida, artinya lebih banyak yang muda daripada yang tua. Jadi pemilih pemuda dan pemilih pemula akan lebih berpotensi.

Kemudian dari sisi literasi politik, Gen Z lebih menguasai media sosial. Membuat mereka menjadi pemilih yang betul-betul objektif sesuai hati nuraninya. Wahyu menilai Gen Z adalah educated voters atau pemilih yang sudah terdidik, sehingga peluang untuk terjerumus money politic sampai politik kotor akan kebih rendah dibandingkan orang-orang yang tidak memiliki literasi media yang cukup.

"Mereka yang tidak memiliki literasi media, mohon maaf, adalah yang tidak punya gadged atau alat komunikasi dan komunikasi untuk mengakses informasi yang ada. Mereka adalah orang-orang yang berada di pinggiran atau daerah terluar dari Indonesia," dia menjelaskan.

Harus diakui bahwa tidak selamanya upaya parpol merekrut anak muda berjalan mudah. Ketua DPW PSI NTB Dian Sandi Utama menjelaskan mengapa partisipasi politik Gen Z di daerah tertentu masih rendah. Dia mencontohkan di NTB, di mana anak-anak muda lebih memilih menempuh jalur konservatif, seperti sekolah, kuliah, serta bekerja di pemerintahan maupun swasta.

Di NTB, masih kurang anak muda yang melirik politik setelah lulus kuliah. Bisa jadi itu disebabkan banyak perusahaan yang melarang pegawainya aktif dalam kegiatan partai politik dalam kurun waktu tertentu. Selain itu, corak politik di NTB masih kental nuansa patron klien. Anak muda masih ikut pilihan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama. Meski tidak semua anak muda begitu, namun berdasarkan data-data lembaga survei, mayoritas suara masih dikendalikan oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat yang banyak juga pengikutnya dari kalangan Gen Z.

PSI tetap optimistis soal keberadaan anak muda menjadi harapan pada pemilu 2024 nanti. Dia sendiri menargetkan agar ada perwakilan partainya di masing-masing DPRD di seluruh NTB. 

"Pengurus DPW dan DPD di NTB memang didominasi millennials dan Gen Z. Sebagian dari mereka sudah mendaftarkan diri sebagai calon legislatif. Namun secara umum kami tidak membatasi usia, bisa dari semua usia," terangnya.

Upaya menarik partisipasi anak muda di Pemilu 2024 bukan hanya PR bagi partai politik. Penyelenggara pemilu juga bekerja keras agar anak muda menyalurkan hak suaranya. Komisioner KPU Kota Makassar, Endang Sari mengatakan, butuh strategis untuk mendekati pemilih, terutama dari kalangan Gen Z yang lebih kritis.

Menurut Endang, Gen Z memiliki karakteristik berbeda dengan generasi sebelumnya. Itu karena mereka punya akses lebih dekat dengan kecepatan perkembangan teknologi dan informasi. "Gen Z dengan karakteristiknya pada kecepatan mereka dalam mengakses informasi pada kreativitas mereka yang luar biasa atau pada kemampuan berjejaring dengan cepat," kata Endang saat diwawancarai IDN Times, Jumat (24/2/2023).

Porsi pemilih Gen Z di Indonesia cukup besar. Berkaca dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada sensus penduduk seorang Februari - September 2020, jumlah penduduk dari kalangan Gen Z mencapai 75,49 juta jiwa atau 27,94 persen dari total populasi berjumlah 270,2 jiwa. Kemudian dari generasi milenial mencapai 69,90 juta jiwa atau 25,87 persen.

KPU harus benar-benar memetakan dengan baik strategi menggaet penggunaan hak pilih dari kalangan Gen Z. Hal ini agar informasi kepemiluan dan pendidikan kepemiluan sampai kepada mereka. Salah satu upayanya dengan gencar menggelar dialog dan berdiskusi dengan mereka.

"Misalnya dengan program KPU Goes to School ke SMA. Kemudian kita KPU Goes to Campus. Kita kerja sama dengan kampus pada penerimaan mahasiswa baru pada lembaga-lembaga mahasiswa," kata Endang.

Selain itu, ada juga upaya menggandeng para anak muda Gen Z yang memang memiliki program terkait politik. KPU juga masif bersosialisasi di media sosial dengan konten-konten yang lebih kreatif mengingat Gen Z kerap diasosiasikan sebagai kelompok apatis politik.

"Harus lebih berwarna, sosialisasi lebih asyik karena sesuai dengan karakteristik mereka yang sangat terbuka dengan informasi yang tersebar di medsos," katanya.

Kurangnya pendidikan berpotensi membuat anak muda menjadi golongan putih (golput) pada Pemilu. Melibatkan kalangan mereka sebagai bagian dari penyelenggara pemilu bisa jadi salah satu solusi meningkatkan partisipasi serta kesadaran kepemiluan.

Seperti yang dirasakan Qahrunnada Syabania Putri, (20), mahasiswi Universitas Negeri Malang angkatan 2020. Dia merupakan salah satu anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS), tenaga ad hoc yang direkrut KPU Kabupaten Malang untuk Pemilu 2024.

Nada mengatakan tahun ini jadi pengalaman pertamanya sebagai anggota PPS. Bertugas sebagai penyelenggara di tingkat kelurahan/desa, dia akhirnya belajar ilmu kepemiluan sedikit demi sedikit.

Setelah beberapa minggu menjadi anggota PPS di Desa Pakis, ia akhirnya tahu kalau PPS di setiap desa di Kabupaten Malang sangat membutuhkan anak muda sebagai anggota. Karena kini pekerjaan di PPS menggunakan teknologi berbasis online.

"Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pemilu kali ini penyelenggara banyak yang memanfaatkan teknologi online. Sehingga keberadaan pemuda sangat dibutuhkan, meskipun tidak mendalami tapi setidaknya tahu karena sistem yang digunakan adalah sistem online," ujarnya.

4. Potensi besar Gen Z laten ditunggangi kepentingan tertentu

Pemilu 2024, Panggung Harapan bagi Gen ZIlustrasi kegiatan belajar mengajar siswa-siswi SMA. (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

Hari-hari Intan kini disibukan dengan wara-wiri ke sejumlah tempat. Sebagai seorang jurnalis, semangat Intan begitu menggebu-gebu untuk berburu berita sepanjang hari. 

Perempuan bernama lengkap Fadila Intan tersebut memang belakangan ini sedang menekuni profesi jurnalis. Sebagai seorang lulusan jurusan Broadcasting, Intan memutuskan menjadi jurnalis online. 

Dari sekian banyak berita, perhatian Intan tertuju pada perhelatan Pemilu serentak yang akan diadakan Februari 2024 mendatang. Seperti diketahui, Pemilu 2024 juga menjadi momentum untuk penyelenggaraan pemilihan calon presiden, calon legislatif maupun bupati dan wali kota.

Intan menaruh harapan yang besar agar kontestasi Pemilu 2024 mampu memunculkan sosok presiden yang membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia.  Menurutnya kinerja Presiden Jokowi selama kepemimpinan 10 tahun terakhir sudah bagus. Namun apa yang dirasakan masyarakat saat ini perlu mendapat pembenahan yang serius terutama di bidang ekonomi. 

"Tapi saya rasa perlu diupayakan lagi supaya angka inflasi stabil. Apalagi kan semua orang tahu harga BBM dan sembako naik turun. Nah, minimal itu bisa dikendalikan biar harganya gak mahal," kata wanita berusia 22 tahun ini, Kamis (23/2/2023). 

Lebih lanjut, Intan menganggap kinerja yang sudah dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi telah membawa dampak positif bagi masyarakat di daerah. Sebab, ia berkata Presiden Jokowi telah gencar membangun sektor infrastruktur sehingga bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. 

"Kalau untuk sosok presiden periode berikutnya, semoga aja ada orang kayak Pak Jokowi. Sosok yang punya kepribadian yang kerjanya cepat, sigap dan birokrasinya gak ribet. Biar bisa meneruskan program kerjanya pak Jokowi. Mulai meneruskan pembangunan jalan, jembatan dan lainnya," tambahnya. 

Ketua Pemantau Pemilu Independen di Banjarmasin, Arbaini (23), mengakui potensi kalangannya sebagai generasi yang bisa menentukan kemajuan bangsa di masa depan. Partisipasi aktif kaumnya sangat diharapkan. Tidak hanya sebagai pemilih, namun juga sebagai aktor yang mengawal proses demokrasi kita agar berjalan sebagaimana aturan yang berlaku. 

Misalnya saja dengan memperkuat pengetahuan tentang pemilu, mengedukasi orang sekitar tentang pemilu, bisa juga dengan melakukan pengawasan partisipatif dan masih banyak lagi yang bisa dilakukan. 

"Momentum pemilu adalah momentum yang sangat penting jadilah sebagai pemilih yang cerdas, tidak hanya melihat sosoknya dari eksistensinya di media sosial, namun harus betul-betul di lihat profil, visi-misi dan komitmennya terhadap masa depan daerah dan rakyatnya," katanya.

Aspirasinya untuk demokrasi seluruhnya juga dibuktikan dengan kegiatan edukasi kepada Generasi Z. Arbani bersama rekannya turut memberi kontribusi dalam proses demokrasi. "Kami kemarin mengadakan sekolah demokrasi yang melibatkan kaula muda untuk sama-sama menguatkan input pengetahuan tentang demokrasi, termasuk pemilu," ucapnya.

Di balik harapan dan potensi besar Gen Z, mereka rawan ditunggangi kepentingan tertentu. Pernyataan itu disampaikan Pengamat politik dan pemerintahan Unjani Cimahi, Arlan Siddha. Menurutnya, Gen Z saat ini turut mendominasi penduduk di Indonesia. Artinya, potensinya sendiri sangat besar. Bahkan nalar kritis dari generasi ini sudah terlihat.

"Sebagai siswa berumur yang 17 itu punya hak suara, artinya ada rekonstruksi pemikiran dari mereka dan ketika menyuarakan, ini kan berarti ada nalar kritis yang mereka mainkan terlepas dia benar atau salah," ujar Arlan.

Salah satu contoh kasus ialah ketika ribuan siswa SMKN 1 Boyolangu, Tulungagung yang melakukan unjuk rasa di sekolahnya. Para siswa-siswi ini menuntut transparansi dan pembatalan sumbangan sekolah.

Aksi ini dilakukan serentak oleh kelas X, XI dan XII di halaman sekolah, setelah upacara bendera. Para siswa yang awalnya tertib mengikuti jalannya upacara langsung bergerak dan mengambil alih podium. mereka juga membentangkan sejumlah poster yang berisi kritik dan tuntutan kepada pihak sekolah.

"Ini jangan dianggap sesuatu yang biasa, ini adalah potensi mereka bisa melakukan langkah politik dengan bersuara seperti apa yang mereka benar-benar rasakan. Namun, jangan sampai dia ditunggangi," ungkapnya.

Meski menjadi potensi besar bagi politik Indonesia dan dunia, Arlan mengatakan, pemerintah harus turut memberikan pendidikan politik agar para Gen Z tidak mudah untuk ditunggangi kepentingan-kepentingan tertentu.

"Ini yang saya khawatirkan (ditunggangi) tapi karena saya melihat juga ini ada sedikit upaya untuk mengerjakan apa yang menurutnya baik, pemerintah juga harus fokus soal pendidikan politik," ucapnya.

Artikel ini merupakan hasil liputan kolaborasi IDN Times hyperlocal, dengan reporter: Tama Wiguna, Khusnul Hasana, Sunariyah, Muhammad Nasir, Muhammad Iqbal, Ashrawi Muin, Anggun Puspitoningrum, Muhammad Ilham Nafian, Yosafat Diva Bagus, Rizal Adhi Pratama, Azzis Zilkhairil, Hamdani

Topik:

  • Aan Pranata
  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya