DPR Kebut Lagi RKUHP, Kelompok Rentan Terancam Kian Terhimpit

DPR disebut manfaatkan situasi pandemik COVID-19

Makassar, IDN Times - Upaya DPR mengebut pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) mendapat kritik dari banyak kalangan. Sebagian menuding ini adalah bentuk "kesempatan dalam kesempitan", sebab masa wabah COVID-19 membuat protes massal alias demonstrasi tak bisa dilakukan.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Sekar Banjaran Aji, menyesalkan usaha Komisi III DPR RI mengesahkan RKUHP yang mengandung pasal-pasal kontroversial dan kental dengan upaya menghadirkan negara dalam ranah privat. Selain itu, dikhawatirkan kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok rentan seperti LGBTQI kian kencang jika RKUHP disahkan.

"Saya khawatir jika RKUHP disahkan, maka kelompok rentan akan semakin rentan," ujar Sekar dalam webinar bertajuk Diskusi Media: Ketika Pasal-pasal Privasi RKUHP Terus Dipaksa Disahkan di Tengah COVID-19 yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) pada hari Jumat (24/4).

1. Keputusan DPR RI kembali lanjutkan pembahasan RKUHP di masa wabah menjadi topik utama dalam webinar bertajuk "Diskusi Media: Ketika Pasal-pasal Privasi RKUHP Terus Dipaksa Disahkan di Tengah COVID-19"

DPR Kebut Lagi RKUHP, Kelompok Rentan Terancam Kian TerhimpitDok. Istimewa/IDN Times

Sekar melanjutkan, RKUHP ini juga dipenuhi dengan semangat punitif atau pemenjaraan. Padahal sebelumnya, sudah ada dokumen Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Politik Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan yang diterbitkan Kemenkumham pada Desember 2010 yang menyodorkan ide penggunaan keadilan restoratif.

Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari solusi yang adil dengan menekankan pemulihan pada keadaan semula, bukan pembalasan. Ini muncul setelah penerapan sistem peradilan pidana dengan sanksi penjara tak efektif menyelesaikan konflik.

Namun, ide pendekatan restoratif dianggap gagal diterapkan dalam pembaruan hukum pidana dalam RKUHP. Jika disahkan, upaya DPR mengurus privasi warganya bisa berujung pada membeludaknya penghuni penjara.

"Penjara-penjara akan semakin penuh dan tidak bisa lagi menampung, saat ini saja (banyak) penjara sudah melebihi kapasitas," tutur Sekar yang juga aktif di Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

2. RKUHP dianggap kian mengancam kelompok rentan yang selama ini acap kali berhadapan dengan stigma dan persekusi

DPR Kebut Lagi RKUHP, Kelompok Rentan Terancam Kian TerhimpitIlustrasi (IDN Times/Mia Amalia)

Dena Rachman, aktris dan aktivis, berpendapat bahwa RKUHP punya tendensi hanya melihat masalah dari satu sisi penilaian moral yang mungkin mengakomodir atau malah mempromosikan keyakinan kelompok tertentu. Selain itu, pasal yang melarang kohabitasi atau tinggal bersama kian menyulitkan pasangan non-heteroseksual.

"Selama ini kelompok-kelompok ini saja sudah mengalami diskriminasi. Kalau RKUHP diloloskan tidak hanya diskriminasi saja, tapi juga kena tindak pidana. Ini kan tidak mengakomodir semua kelompok masyarakat, karena disusun hanya berdasarkan satu sudut pandang saja," ungkap sosok yang juga berprofesi sebagai desainer tersebut.

Dena menyebut bahwa jika disahkan, RKUHP bisa menjadi alasan komunitas transgender dijerat dengan tiga pasal sekaligus yakni kohabitasi, penggelandangan dan pencabulan. Selain itu, DPR sebagai perumus kebijakan dianggap acap kali gagal melihat masalah secara komprehensif sehingga gagal pula memberi solusi yang tepat.

Baca Juga: Komnas HAM Desak Wali Kota Depok Cabut Kebijakan Merazia LGBT 

3. Media harus menjadi corong bagi kelompok rentan agar suara mereka didengar oleh DPR dalam proses pembahasan RKUHP

DPR Kebut Lagi RKUHP, Kelompok Rentan Terancam Kian TerhimpitANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah

Di sisi lain, Wahyu Dhyatmika selaku Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO menyebut mungkin saja ada peran media dalam terciptanya kepanikan moral di masyarakat. Kepanikan tersebut kemudian mendorong DPR terus membahas RKUHP. Pemberitaan bombastis stigma dari media disebutnya turut membangun salah kaprah dan label negatif kepada kelompok minoritas.

Wahyu menyebut bahwa tugas media saat ini adalah mengawal agar tak terjadi pemaksaan dan kepentingan dari kelompok-kelompok tertentu. Media disebut harus menjadi corong publik yang bisa digunakan semua orang, termasuk mereka yang selama ini menjadi kelompok rentan yang menderita karena perlakuan represif.

"Peran media, sebagai bagian dari publik adalah memastikan pembahasannya bersifat inklusif dan tak ada pemaksaan. Suara kelompok minoritas harus disampaikan demi terciptanya dialog, dan meminta DPR merespons," papar Sekretaris Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) tersebut.

4. Upaya DPR kembali membahas RKUHP di masa pandemik juga disayangkan

DPR Kebut Lagi RKUHP, Kelompok Rentan Terancam Kian TerhimpitIDN Times/Teatrika Putri

Setali tiga uang, selentingan juga dikemukakan oleh Budhi Kurniawan, produser Kompas TV dan anggota Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Ia menyayangkan bahwa alih-alih membuat kebijakan demi mendukung aktivitas rakyat di masa pandemik, RKUHP yang mengundang suara sumbang justru kembali menjadi bola panas.

"Mengapa RKUHP yang dibahas? Mengapa tidak RUU PKS yang lebih penting? Atau kebijakan-kebijakan yang mengakomodir kebutuhan kelompok minoritas saat pandemi COVID-19?," tanya dia.

Perihal pemberitaan yang sering kali merugikan kelompok rentan, Budhi menjelaskan bahwa jurnalis lebih didorong untuk mengedepankan perspektif korban dan keberagaman. Mengupas isu dengan cara sensasional dan menerabas privasi adalah dua hal yang harus dihindari. Diperlukan juga narasumber yang tak menghakimi atau bahkan semakin menyulut bara api.

Baca Juga: RUU Ketahanan Keluarga Atur Penyimpangan Seksual, LGBT Wajib Lapor

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya