Potret Kita yang Belum Menyadari Pentingnya Kesehatan Mental

10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia

Usianya masih belasan tahun saat Lucky pertama kali menggunakan narkoba. Awalnya coba-coba, hingga akhirnya dia kecanduan.

Lucky Mahesa (29) -bukan nama sebenarnya- punya alasan klasik terjerat narkotika. Dia merasa depresi akibat tekanan batin. Awalnya dia mengira kesenangan mengonsumsi barang-barang terlarang itu akan membuat hidupnya lebih baik.

“Saat itu pakai narkotika karena lingkungan dan rasa penasaran. Lama berhenti, saya kemudian kembali intens saat masuk usia 20-an awal. Saat itu bisa dikatakan saya depresi, stres dengan hidup membuat saya kembali mengonsumsi narkotika," ungkap Lucky saat berbincang dengan IDN Times, Rabu (6/10/2021).

Jawabannya tentu: tidak. Belakangan Lucky baru tersadar bahwa langkah hidupnya sudah jauh dari keseharian orang normal. Sikapnya jadi temperamental, termasuk kepada orang tua sendiri. Narkoba membuatnya dijauhi keluarga hingga memicu perpisahan rumah tangganya.

Lucky beberapa kali mengikuti rehabilitasi, tapi berkali-kali juga dia gagal keluar dari jerat. Hingga tahun di 2019, dia bertemu seorang teman yang jadi konselor di Yayasan Cahaya Putra Selatan, sebuah tempat rehabilitasi pecandu narkotika di Palembang, Sumatra Selatan. Dia merasa menemukan orang yang tepat mencurahkan perasaan, yang selama ini selalu dia dilarikan ke narkoba.

"Selama enam bulan rehabilitasi saya merasa cocok. Seminggu sekali diberikan konseling. Setiap ada masalah, saya bisa berbagi dengan benar, menemukan solusi yang tepat bersama. Saya merasakan kembali optimis hidup," katanya.

Lucky akhirnya berhasil menghentikan kebiasaan buruknya. Dia tak menyangka perasaan depresi, trauma, hingga stres berlebih jadi pintu hingga terjebak pada perbuatan desktruktif selama bertahun-tahun. Belakangan dia baru menyadari bahwa selama ini dia salah menangani persoalan mentalnya.

KESEHATAN mental merupakan isu penting. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan setiap tanggal 10 Oktober sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, yang menjadi momen kampanye dan edukasi mengenai isu-isu relevan.

Meski diperingati setiap tahun, nyatanya sebagian orang belum paham soal isu kesehatan mental. Seiring masih maraknya stigma dan diskriminasi kepada masyarakat yang mengidap ganguan mental. Akses terhadap pelayanan kesehatan mental juga belum seluas layanan kesehatan fisik.

Into The Light, sebuah komunitas dengan misi utama mencegah bunuh diri di kalangan remaja Indonesia, menggelar survei bekerja sama dengan Change.org pada Mei-Juni 2021. Survei melibatkan 5.211 responden dari enam provinsi di Pulau Jawa.

Survei mengungkapkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, hanya 27 persen partisipan yang pernah mengakses layanan kesehatan mental. Salah satu alasannya: terbiasa menyelesaikan masalah sendiri. Sebagian responden juga merasa anggota keluarga dan teman dekat mampu mengatasi masalah kesehatan jiwa.

Survei juga merekam bahwa tiga dari lima orang tidak tahu bahwa ada layanan kesehatan mental di wilayah domisilinya. Di sisi lain, tujuh dari sepuluh orang tidak tahu BPJS dapat menanggung biaya akses dan pengobatan layanan kesehatan mental.

Psikiatri yang aktif melayani pasien di RS Siloam Bogor, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ mengatakan, selama pandemik COVID-19 jumlah kunjungan poliklinik kesehatan jiwa cenderung meningkat. Namun sebagian besar mereka yang datang sudah mengalami keluhan berat.

"Saya berasumsi banyak di antara kita terbiasa menunggu gejala yang benar-benar berat baru mencari pertolongan kepada profesional kesehatan jiwa. Hal ini karena permasalahan kesehatan jiwa masih dianggap tidak seserius permasalahan kesehatan fisik, sehingga cenderung diabaikan," kta dr. Jiemi.

Baca Juga: Kisah Pecandu di Palembang Bolak-balik Rehab Hilangkan Depresi

Baca Juga: Survei Kesehatan Mental di RI: Mayoritas Kesepian dan Ingin Bunuh Diri

1. Pandemik yang memicu persoalan ekonomi turut jadi faktor masalah mental

Potret Kita yang Belum Menyadari Pentingnya Kesehatan MentalIlustrasi pandemik COVID-19. (ANTARA FOTO/M. Risyal Hidayat)

Persoalan kesehatan mental bisa disebabkan beragam hal. Tergantung latar belakang masing-masing orang yang mengalaminya. Namun pandemik COVID-19 yang melanda dua tahun terakhir turut jadi pemicu.

Direktur Rumah Sakit Jiwa Atma Husadah Samarinda, Kalimantan Timur, dr H Jaya Mualimin mengatakan, serangan pandemik berbanding lurus dengan peningkatan kasus gejala kesehatan jiwa. Ancaman penyakit membuat masyarakat terpaksa mengubah berbagai kebiasaan hidupnya. Di sisi lain, orang-orang cemas dengan keselamatan dan masa depan yang tidak menentu.

 “Sejak masa pandemik 2 tahun, kemudian peningkatan kasus meninggal hampir 6 ribu jiwa di Kaltim dan Samarinda. Pasti ini akan menimbulkan psikologis dari keluarga yang ditinggal. Jadi peningkatannya pasti signifikan, untuk mereka mereka yang depresi atau cemas,” kata Jaya.

“Kita cek di klinik dan poli ya, warga yang datang untuk konsultasi memang meningkat, dan rata rata ODMK ( orang dalam masalah kejiwaan (ODMK) itu depresi,” imbuhnya.

Psikolog Spesialis Kesehatan Jiwa di Samarinda Ayunda Ramadhani menganggap masyarakat mengalami shock dalam menghadapi perubahan pola hidup di situasi seperti sekarang. Belum lagi berbagai faktor pemicu lain, seperti pemutusan hubungan kerja, work from home, kekerasan dalam rumah tangga, hingga permasalahan ekonomi.

“Tidak ada orang yang siap dengan adanya pandemik, sehingga marak sekali ditemukan adanya kasus kasus yang mengarah pada gangguan kesehatan jiwa,” ujarnya. 

Di antara beragam pemicu, persoalan ekonomi bisa dibilang termasuuk berpengaruh dalam masalah kesehatan mental. Soal itu diakui dr. Nira Ista Dewi, Kepala Puskesmas Licin, Banyuwangi, Jawa Timur. Puskesmas Licin merupakan satu-satunya yang memiliki fasilitas rawat inap pasien gangguan jiwa di Banyuwangi.

“Faktor utama tetap ekonomi, dan merembet ke persoalan keluarga," ujarnya.

Nira mengatakan, di Puskemas Licin, petugas menerima orang yang datang untuk konsultasi secara pribadi mengenai persoalan kejiwaan. Pasien gangguan jiwa rata-rata ditangani rawat jalan, kecuali yang mengalami depresi berat hingga cenderung berupaya melukai diri sendiri.

"Kalau keluarga masih bisa membantu, dan dia tidak terlalu mengkhawatirkan untuk keselamatan diri dan keluarga. Apalagi keluarga peduli, tidak disarankan rawat inap," kata dia.

Baca Juga: Masalah Ekonomi, Pemicu Terbanyak Kasus Gangguan Jiwa di Banyuwangi

Baca Juga: Duh! Gangguan Kesehatan Jiwa Meningkat di Kaltim 

2. Rasa kesepian mendorong niat bunuh diri

Potret Kita yang Belum Menyadari Pentingnya Kesehatan Mentalilustrasi bunuh diri (IDN Times/Arief Rahmat)

Survei Into The Light bersama Change.org menunjukkan bahwa perasaan kesepian merupakan salah satu masalah mental yang banyak dialami masyarakat Indonesia. Survei itu mengungkap bahwa 98 persen responden mengalami kesepian dalam sebulan terakhir.

Yang mengkhawatirkan, 40 persen di antara mereka memiliki pemikiran melukai diri sendiri atau bunuh diri dalam dua minggu terakhir.

Peneliti pascadoktoral University of Macau sekaligus mitra Into The Light, Andrian Liem mengatakan, menurut hasil survei itu, juga ditemukan fakta bahwa masyarakat masih memandang negatif atau menstigma perilaku bunuh diri. Itu tercermin dari tidak ada partisipan yang menjawab seluruh pertanyaan tentang fakta dan mitos bunuh diri dengan benar.

"Misalnya saja partisipan menganggap bahwa menanyakan keinginan bunuh diri kepada seseorang akan memicu keinginan bunuh diri sebagai fakta. Padahal ini adalah mitos, justru menanyakan hal tersebut dapat membantu mencegah keinginan orang untuk bunuh diri," ujar Andrian.

Di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, angka kasus bunuh diri cenderung meningkat dua tahun terakhir. Selama tahun 2020 kejadian bunuh mencapai 29 kasus, didominasi gantung diri, dan tiga kasus menenggak racun tikus. Sedangkan kasus bunuh diri pada tahun 2021 hingga awal Oktober 2021 tercatat 37 kasus, yang 36 di antaranya gantung diri.

Kasubbag Humas Polres Gunungkidul, Iptu Suryanto menyebut sebagian pelaku bunuh diri adalah lansia yang punya penyakit menahun. "Memang ada kasus tertentu bunuh diri yang korbannya masih usia muda dan hal ini diduga kuat karena putus cinta," ujarnya.

Polisi menduga pandemik yang tak jelas kapan berakhirnya turut menyebabkan meningkatnya kasus bunuh diri. Tapi itu masih asumsi.

“Baru sebatas dugaan karena butuh penelitian lebih lanjut," kata Suryanto. "Saya kira faktor mental yang frustrasi, tak mau merepotkan orang lain termasuk juga masalah ekonomi punya korelasi penyebab kasus bunuh diri di Gunungkidul,” dia melanjutkan.

Baca Juga: Lansia Sakit dan Kesepian Dominasi Kasus Bunuh Diri di Gunungkidul 

3. Mengapa belum semua orang enggan membuka diri?

Potret Kita yang Belum Menyadari Pentingnya Kesehatan MentalKegiatan Komunitas Bipolar Bali. (instagram.com/komunitasbipolar.bali)

Salah satu bentuk masalah mental adalah gangguan bipolar, yang ditandai dengan perubahan emosi drastis. Yarra Rama, Ketua Komunitas Bipolar Bali, wadah saling memberi dukungan sesama orang dengan bipolar, mengungkapkan ada dua fase yang biasanya dialami pengidap.

Yang pertama fase manik atau bipolar tipe I. Pada fase ini ODB cenderung ceria. Mereka biasa masih bisa datang ke support group. Sedangkan pada tipe II disebut hipomanik atau fase depresi.

"Manik itu bisa berupa gak bisa tidur-tidur. Tiga hari, seminggu. Itu yang bahaya. Kalau tidak tertangani, bisa error otaknya. Kalau hipomanik, itu tidak terlalu kentara. Jadi bawaannya happy aja. Kebalikannya adalah depresi. Ini yang juga orang sering salah paham. Orang menganggap bipolar itu dua kepribadian. Salah itu," Yarra menjelaskan.

ODB yang dalam fase depresi ringan, biasanya masih bisa mengikuti aktivitas support group yang diadakan. Hanya saja ada beberapa kondisi yang menyebabkan mereka tidak bisa bangun, tidak bisa bekerja, mengisolasi diri, dan merasa sangat lelah.

Yarra menekankan keterbukaan ODB kepada lingkungan sekitar sangat diperlukan. Hal ini untuk menjelaskan kondisi bipolar seseorang. Harapannya, bisa menciptakan support system yang baik. Namun ternyata dalam praktiknya berkebalikan.

"Sayangnya stigma akan kesehatan mental masih terasa begitu kental. Sehingga banyak dari ODB tidak berani membuka diri sebagai penyintas bipolar," ujarnya.

Komunitas Bipolar Bali rutin menggelar sharing antar anggota komunitas, selain aktif bikin talk show, demo melukis, hingga penampilan musik.  Yarra menyebut wadah itu terbuka untuk siapa pun. Lewat komunitas ini, ODB diharapkan paham bahwa mereka tidak sendirian. Pertemuan antar sesama ODB juga diyakini dapat menekan keinginan bunuh diri.

"Beberapa kali kami memberi bantuan arahan untuk opname saat-saat genting. Seperti mengalami stressor tinggi sehingga muncul keinginan bunuh diri. Komunitas Bipolar Bali membantu arahan dan pendampingan untuk kasus-kasus seperti itu," terangnya.

Alasan lain masyarakat belum banyak yang mengakes layanan kesehatan mental diungkapkan oleh Abdurahman. Dia Pengusaha UMKM dengan merek Baso Aci Ngilers di Bandung, Jawa Barat.

Abdurahman mengakui bahwa kondisi pandemik memang membuat dagangannya tidak begitu laris. Ia juga merasa beberapa kali drop dan stres. Tapi dia belum merasa perlu sampai konsultasi kejiwaan.

"Kalau mau jujur saya masih belum paham soal (layanan konsultasi kejiwaan) itu. Saya tahunnya ada bantuan obat gratis saja," katanya.

Pelaku UMKM asal Kota Bandung lainnya, Aziz Abdillah mengatakan selama ini dia lebih banyak berbicara dengan sejawat jika ada masalah yang jadi tekanan hidup. "Lebih banyak curhat atau diskusi sama teman kalau stres penjualan dibandingkan (konsultasi kejiwaan) itu. Saya juga baru dengar," jelasnya.

Baca Juga: Ketua Komunitas Bipolar Bali: Banyak ODB Tidak Berani Membuka Diri 

Baca Juga: Mengenal Komunitas Bipolar Bali, ODB Kamu Tidak Sendirian   

4. Pemasungan masih marak

Potret Kita yang Belum Menyadari Pentingnya Kesehatan MentalODGJ di Sindangkerta KBB dipasung keluarga. (IDN Times/Bagus F)

Sementara orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) belum sepenuhnya mendapatkan penanganan yang tepat. Di Sumatra Utara sempat marak tren pasung bagi ODGJ. Banyak faktor yang menyebabkan penanganan tersebut.

Dosen Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatra Utara Wardiyah Daulay menjelaskan, pemasungan antara lain karena keluarga menganggap ODGJ merupakan aib. Selain itu adalah minimnya pemahaman masyarakat soal gangguan jiwa, serta diperparah faktor ekonomi yang membuat ODGJ tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan.

“Ada juga pemahaman di masyarakat mengira gangguan jiwa itu karena guna-guna. Padahal bukan,” ungkap Wardiyah, Sabtu (9/10/2021).

Pemasungan, menurut Wardiyah, bukan hanya tindakan memasung kaki atau pun tangan. Tindakan mengurung ODGJ juga dianggap pemasungan. Karena mengekang dianggap mengekang haknya sebagai manusia.

Psikolog Irna Minauli menjelaskan, pemasungan biasa dilakukan kepada orang dengan gangguan jiwa yang cukup berat. Umumnya, para penderita memiliki halusinasi dan delusi (waham) serta perilaku yang dianggap aneh.

“Pada kelompok masyarakat yang tidak mampu membawa ke psikiater atau ke rumah sakit jiwa maka pilihan yang sering diambil adalah dengan memasung mereka,” kata Irna yang juga menjabat Direktur Minauli Consulting.

Pemasungan, kata Irna, tidak efektif dalam penanganan. Tindakan ini juga melanggar Hak Asasi Manusia. Ini juga berpotensi memperburuk kondisi kesehatan ODGJ. Karena biasanya, orang yang dipasung melakukan buang air besar dan air kecil di satu tempat yang sama. Sehingga sanitasinya cukup buruk.

“Kondisi yang buruk akibat pemasungan ini dapat memperparah kondisi penderita skizofrenia tersebut. Mereka mungkin semakin mengembangkan halusinasi dan delusinya. Pada kasus-kasus gangguan jiwa berat yang disertai dengan kecenderungan melukai diri sendiri atau orang lain maka penanganannya harus dilakukan oleh psikiater dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ),” ungkapnya.

Kata Irna, pendekatan dukungan sosial bisa membantu pemulihan ODGJ. Harus ada pendampingan berkelanjutan kepada para ODGJ. Sehingga mereka perlahan merasa dihargai dan dibutuhkan.

“Ditingkatkan harga dirinya yang terpuruk, diberikan informasi tentang ganguannya dan bagaimana penangannya serta apa yang menjadi pencetusnya,” jelasnya.

Selain itu, para pasien ODGJ juga bisa dilibatkan dalam kegiatan vokasional. Sehingga mereka bisa mengalihkan halusinasinya. Misalnya bertani, membuat kerajinan dan lainnya.

Baca Juga: Pengetahuan Masyarakat Minim, Pemasungan ODGJ masih Marak di Sumut

5. Mereka yang jadi pahlawan kesehatan mental

Potret Kita yang Belum Menyadari Pentingnya Kesehatan MentalKomunitas Yoga Banyuwangi saat latihan. IDN Times/Istimewa

Di tengah rendahnya pemahaman masyarakat, berbagai gerakan tumbuh di masyarakat di bidang kesehatan mental. Dari pelampiasan emosi lewat olahraga hingga rehabilitasi kejiwaan berbasis pesantren. Ada juga yang bergerak secara khusus, misalnya kepada kalangan difabel.

Nurhayani Kurniawan (44), pendiri komunitas yoga di Kabupaten Banyuwangi, telah menangani banyak warga yang mengalami depresi akibat keterpurukan ekonomi dampak dari pandemik COVID-19.

Nurhayani menyebut ada tiga golongan orang yang ikut olahraga yoga. Pertama hanya sekadar penasaran ingin tahu, kebutuhan karena keluhan kesehatan fisik dan mental; serta orang-orang yang sudah menjadikan yoga sebagai kebutuhan setelah merasa sembuh.

"Seperti saya, menikmati proses, saya tidak pernah menghitung berapa orang yang merasakan manfaat sehat dari yoga. Karena tentu dengan capaian mereka lebih sehat, berjalan normal, aktivitas kerja kembali, itu adalah kebahagiaan. Jadi saya nggak pernah menghitung," kata dia saat dihubungi Rabu (6/10/2021).

Perempuan yang sudah mengantongi lisensi mengajar yoga ini, aktif mengajak orang-orang di Kabupaten Banyuwangi untuk ikut olahraga yoga sejak 6 tahun silam. Ia berupaya meyakinkan bahwa yoga bisa membuat tubuh lebih sehat, menyatukan pikiran, tubuh dan jiwa manusia.

Tidak disangka, semakin banyak orang yang tertarik bergabung, setelah merasa sembuh dari berbagai keluhan kesehatan fisik maupun mental. Hingga sebuah komunitas yoga di Banyuwangi pun terbentuk. Para praktisi yoga,juga tergabung dalam Perkumpulan Praktisi Yoga Nasional Indonesia (PPYNI).

Khusus penanganan depresi, Nurhayani butuh melakukan terapi yoga secara terus menerus, baik secara privat maupun kelas latihan bersama.

"Butuh pendampingan mereka, mulai dari mengenal kembali tubuhnya, hatinya, nafasnya, itu butuh latihan yang terus menerus. Nggak bisa begitu dinyatakan sembuh langsung berhenti, karena orang depresi itu naik turun kondisinya, pikirannya, kejiwaannya," paparnya.

Potret Kita yang Belum Menyadari Pentingnya Kesehatan MentalKomunitas Peduli Ganguan Jiwa Lampung (KPGJL). (instagram/@peduliganguanjiwalampung)

Setiap orang berhak mendapatkan kesamaan perlakuan dalam tiap aspek kehidupan, tak terkecuali bagi para penyandang difabel mental. Kondisi itulah melatarbelakangi terbentuknya Komunitas Peduli Ganguan Jiwa Lampung (KPGJL).

Berdiri sejak 13 Februari 2017, KPGJL fokus penanganan kondisi kesehatan mental seseorang, khususnya difabel. Founder KPGJL Elisa Ramanda mengisahkan, komunitas bermula dari panggilan hati acapkali mendapati difabel mental ada di jalanan. Mereka bahkan harus memungut makanan di tempat sampah hingga minum air kotor dari sanitasi (comberan).

Atas dasar itu, komunitas KPGJL berkomitmen membantu, memfasilitasi, dan menolong kaum penyandang difabel mental, khususnya di Kota Bandar Lampung.

"Saya terenyuh melihatnya (kaum difabel mental di jalanan), kemana keluarga mereka? Dimana peran pemerintah? Kok bisa mereka seperti ini, kenapa tidak ada yang mengurus. Dari situ saya berkeinginan membentuk komunitas, yang khusus bisa membantu mereka," ujar Elisa saat dihubungi IDN Times, Jumat (8/10/2021).

Sejak KPGJL berdiri, terdata ada lima penyandang difabel mental pernah dan hingga kini masih berada di bawah pengawasan dan penanganan Elisa dan kawan-kawan. Penanganan dan perawatan kaum difabel mental lebih mengedepankan kualitas dibandingkan kuantitas.

"Kita mengurus mereka tiap hari mulai makanan, pakaian, obat-obatan, sampai terapi khusus. Makanya kita tidak bisa ambil banyak-banyak, kami punya konsep orang yang kami urus harus sembuh 100 persen," ucap dia.

Menurut Elisa, seiring berjalannya waktu hingga kini sudah ada satu orang penyandang difabel mental yang bisa dikatakan benar-benar pulih. "Dikatakan sembuh ini menurut kacamata kami, tapi tetap kondisinya selalu kami pantau," sambung dia.

Potret Kita yang Belum Menyadari Pentingnya Kesehatan MentalIDN Times/Maya Aulia Aprilianti

Ada pula Pondok Pesantren Darut Tasbih yang terletak di Desa Gelam Jaya, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang, Banten. Sekilas tempat itu sama seperti pondok pesantren pada umumnya. Terdapat gedung sekolah, masjid, dan kamar asrama yang ada di kawasan seluas 1,5 hektare. 

Namun, ponpes ini memiliki program berbeda, yakni rehabilitasi mental orang-orang yang memiliki masalah gangguan kejiwaan.  KH Rafiudin sang pemilik ponpes ini mengaku, telah melakukan rehabilitasi mental bagi penyandang orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sejak tahun 1986. 

"Dulu belum ada gedung pesantren seperti ini, masih berbentuk rumah biasa," kata KH Rafiudin saat ditemui IDN Times, Rabu (6/10/2021). 

Rafiudin mengungkapkan, program rehabilitasi mental berawal dari rasa ibanya terhadap para ODGJ yang terlantar di jalanan sekitar kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pada tahun 1986, ia kerap kali ikut pengajian ke berbagai wilayah sehingga sering menemukan ODGJ di jalanan. 

"Ada yang masuk ke got, tidur di jalanan, yang kondisinya bikin saya sedih, jadi saya berinisiatif untuk bawa mereka pulang dengan mobil boks," jelasnya. 

Saat itu, dia menangani para ODGJ tersebut sendirian. Dia mengajak mereka untuk ikut salat, berdzikir, belajar membaca Alquran, dan sebagainya. Hal tersebut pun sukses membuat para ODGJ tersebut sembuh dari gangguan mentalnya. 

Program rehabilitasi mental tersebut juga melibatkan keluarga penyandang. Rafiudin membagikan amalan, bacaan, dzikir yang harus dibaca, dan sebagainya. Proses penyembuhan para pasien tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya. Pasalnya kondisi para pasien berbeda-beda, bahkan penyebabnya pun berbeda sehingga lama penyembuhan juga tidak bisa dipastikan. 

"Ada yang seminggu sudah sembuh, ada juga yang 20 hari belum sembuh, ada juga yang tahunan, karena tergantung dengan kondisinya juga," jelasnya. 

Namun, ia menganggap para penyandang juga ingin hidup seperti orang normal biasanya, sehingga saat proses penyembuhan dilakukan treatment seperti saudara sendiri. 

"Saya anggap mereka adik kakak saya, sehingga saya anggap mereka orang normal, diajak ngobrol dan berbicara juga berkegiatan seperti orang normal, tapi kalau yang benar-benar tidak bisa diajak berkomunikasi kita berikan penjagaan khusus," terang Rafiudin.

 

"SATU nyawa sangatlah berharga. Tak apa mendapat laporan palsu, daripada meremehkan hingga terlambat," seru Eko Yudi dengan berapi-api kepada petugas lapangan dari ujung handy talky, di Command Center Room 112, Gedung Siola, Jalan Tunjungan, Surabaya, Rabu (6/10/2021).

Keselamatan masyarakat merupakan tujuan utama pekerjaan Yudi sebagai Kepala Bidang Perlindungan Masyarakat BPB Linmas Pemkot Surabaya. Keselamatan nyawa yang dia maksud bukan hanya karena akibat kejadian kecelakaan atau kebakaran. Percobaan bunuh diri juga termasuk salah satu fokus utama penyelamatan yang dilakukan tim Yudi melalui Command Center 112 (CC 112).

CC 112 merupakan salah satu program kedaruratan dari Pemerintah Kota Surabaya bagi warganya. Sekecil apapun potensi dan percobaan mengakhir hidup, Yudi dan timnya memonitor dari Command Center Room 112 di Gedung Siola, Surabaya, kemudian mengugaskan tim turun ke lapangan untuk mencegahnya.

Sebagai Kota Metropolitan, Surabaya memang dipenuhi kasus-kasus depresi berujung percobaan bunuh diri. Depresi, keputusasaan, dan berbagai masalah lainnya menjadi penyulut suicidal thoughts. Tak jarang, CC 112 mendapat laporan dari warga atas adanya percobaan bunuh diri bahkan penemuan mayat korban bunuh diri.

Sejak tahun 2019, CC Room 112 Surabaya telah mendapatkan 50 laporan percobaan bunuh diri dari warga. Di tahun 2019, terdapat 25 laporan dengan 10 kasus berakhir meninggal dunia. Jumlah ini menurun di tahun berikutnya yaitu 16 laporan dengan 7 kasus meninggal dunia di tahun 2020. Sementara selama 9 bulan di tahun 2021, telah ada 9 laporan percobaan bunuh diri dengan 3 kasus meninggal dunia.

Selama bertahun-tahun bertugas melayani masyarakat, Yudi pun menemui beragam kasus percobaan bunuh diri. Salah satu yang paling ia ingat adalah upaya seorang istri untuk menyusul suaminya yang telah memetuskan mengakhiri hidup di tahun 2020. Sang suami sudah terlebih dahulu meninggal dengan cara melompat dari fly over Pasar Kembang.

"Beberapa bulan kemudian, istrinya menyusul di tempat yang sama. Untungnya ada warga yang langsung melapor ke CC 112 kalau sepertinya ada yang mau lompat," tutur Yudi berkisah.

Para personel kedaruratan CC 112 pun langsung menuju lokasi. Mereka membujuk perempuan tersebut untuk mengurungkan niatnya melompat. Satu nyawa berhasil diselamatkan berkat laporan cepat dari warga dan reaksi tanggap para petugas.

Tak hanya percobaan bunuh diri tempat umum, kasus self harm juga ditangani oleh CC 112 Surabaya. Self harm atau upaya menyakiti diri sendiri merupakan salah satu indikasi gangguan mental yang bisa berujung pada kematian. Sekecil apa pun potensinya, tim Yudi selalu siap sedia untuk menyelamatkan.

"Yang sedih itu kalau dilihat oleh keluarga. Ada yang menyayat-nyayat tangan begitu. Sedih sekali. Tapi kami berhasil menyelamatkan dan dibawa ke RS terdekat lalu diberi pendampingan," imbuhnya.

Baca Juga: Menyelamatkan Nyawa yang Putus Asa

Baca Juga: Cerita Praktisi Yoga Banyuwangi, Banyak Bantu Orang Depresi

Baca Juga: Ponpes Darut Tasbih, Perjuangan Syiar Islam Lewat Rehabilitasi Mental

Baca Juga: Lihat Difabel Mental Minum Air Sanitasi, KPGJL: Mana Peran Pemerintah?

6. Merawat kesehatan mental bisa dimulai dari diri sendiri

Potret Kita yang Belum Menyadari Pentingnya Kesehatan MentalArina Molitha mengajarkan anaknya bercocok tanam di rumah. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Dosen Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Hasanuddin Makassar, A. Juwita Amal memandang orang-orang cenderung cuma perhatian kepada kesehatan fisik. Sedangkan pengabaian terhadap isu kesehatan mental merupakan bentuk ketidakpedulian.

Dia mencontohkan banyak orang kerap merasa sakit fisik seperti sakit kepala atau sakit seluruh tubuh padahal tidak mengerjakan tugas berat. Namun yang tidak mereka sadari adalah sakit fisik itu bisa saja disebabkan oleh faktor psikologis yang berujung pada gangguan kesehatan mental.

"Kesehatan mental juga berkaitan dengan fisik. Ketika seseorang mengalami ketidaknyamanan emosional, misal ada konflik dengan orang lain, terus dia secara emosi tertekan, ujung-ujungnya akan muncul ke fisik," katanya lagi.

Juwita menjelaskan, banyak orang mengetahui dirinya tak merasa nyaman di sebuah lingkungan. Namun mereka tak bisa menjelaskan alasan ketidaknyamanan itu. Contohnya saat seseorang menerima perkataan kasar. Meski tidak nyaman, dia tidak bisa menjelaskan alasannya. Padahal ketidaknyamanan itu karena orang yang dikasari merasa tidak dihargai.

"Pengolahan ke dalam diri itu yang kurang sehingga orang kadang tidak menyadari bahwa dia sedang mengalami sesuatu yang tidak nyaman secara psikologis," kata Juwita.

Sebenarnya, kata Juwita, pendekatan untuk kesehatan mental pada dasarnya berawal dari pemahaman terhadap kondisi diri manusia. Dari memahami diri sendiri, seseorang akan sadar dan bisa menilai dirinya apakah dia sedang sakit fisik atau sakit psikis yang berkaitan dengan masalah.

Juwita lagi-lagi menekankan bahwa fisik dan psikis adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Walaupun fisik terlihat, namun psikis bisa dirasakan meski tak dapat dilihat oleh orang lain.

"Kalau tiap orang sadar dengan kondisi dirinya, dia pasti tahu bagaimana mencari pertolongan dan itu bisa memotong rangkaian gangguan kesehatan mental," kata Juwita.

Arina Molitha, seorang ibu rumah tangga di Semarang, Jawa Tengah, membagikan kiat membentengi kesehatan mental diri orang tua dan anak. Dia mengumpamakannya seperti saat naik pesawat terbang.

‘’Dalam keadaan darurat sebelum menolong orang lain memakai kantong udara, kita harus memakai kantong udara untuk diri sendiri dulu,’’ tuturnya. 

Dalam perumpamaan tersebut orang tua harus memiliki energi positif agar tetap tenang, tidak cemas atau khawatir terhadap apa yang telah terjadi. Dengan begitu, anak akan melihat kemudian mencontoh apa yang dilakukan orang tua. 

Arina mengajak anak-anaknya melakukan verifikasi perasaan dengan cara berkomunikasi mengobrol bersama, belajar mengenal diri sendiri, dan melakukan berbagai aktivitas. Hal itu dilakukan meskipun terkadang susah untuk menerapkan di tengah pandemik. 

Untuk mengalihkan perasaan dan energi negatif yang mengganggu kesehatan mental, Arina mendongkrak semangat anak-anaknya yang sekolah di jenjang SD dan TK dengan mengajak olahraga bersama dan berkebun. 

‘’Itupun kita nggak bisa ajak secara langsung. Harus memberi contoh dulu ke anak-anak dan ketika mereka melihat baru deh kami ajak, yuk sini bantu-bantu. Dan berkebun ini ngaruh banget membuat mood anak-anak menjadi lebih baik. Mereka jadi nggak fokus ke masalahnya dan jadi menikmati proses," tandas Arina. 

Baca Juga: Ortu Jaga Kesehatan Mental Anak Bak Pakai Kantong Udara di Pesawat  

7. Enggan ke psikolog? kamu bisa mengakses aplikasi kesehatan mental

Potret Kita yang Belum Menyadari Pentingnya Kesehatan MentalIlustrasi Keluarga (IDN Times/Mardya Shakti)

Untuk kamu yang merasa punya masalah atau isu kejiwaan tapi masih enggan berkonsultasi ke psikolog atau psikiater, masih ada cara lain. Berbagai aplikasi kesehatan mental bisa jadi solusi sementara.

Berikut daftar aplikasi berbahasa Indonesia yang dapat membantu kamu menghadapi masalah ini.

Kalm

Aplikasi Kalm menawarkan layanan untuk curhat dengan konselor profesional (disebut Kalmselor)  dan Gratitude Journal yang diklaim telah terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan kebahagiaan tanpa biaya.

Selain kedua layanan tersebut, Kalm juga dilengkapi dengan berbagai artikel dan video yang berkaitan dengan kesehatan mental. Aplikasi ini menawarkan beberapa paket berlangganan untuk konsultasi. Paket yang paling terjangkau adalah paket harian yang mengizinkan kamu melakukan chat tanpa batas selama tiga hari. Nantinya, konselor akan menjawab minimal dua kali sehari.  Harga paket ini mencapai Rp33 ribu per hari.

Halodoc

Halodoc dikenal sebagai aplikasi layanan kesehatan yang lengkap. Tentunya, layanan tersebut juga mencakup kesehatan jiwa. Kamu dapat mengisi kuis online yang disediakan Halodoc, yang kemudian diikuti dengan terapi online oleh psikolog klinis dan diagnosis serta perawatan medis dari psikiater.

Mitra yang disetujui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ini biasanya mematok harga minimal Rp50 ribu untuk kategori kesehatan jiwa. Kamu pun dapat membaca berbagai artikel kesehatan mental.

Riliv

bagai one stop service aplikasi kesehatan mental, Riliv menyediakan layanan konseling, meditasi, dan berbagai artikel yang membantu memahami kesehatan mental secara lebih dalam. Terdapat banyak jurnal yang bermanfaat untuk kesehatan mental, seperti 'Sleep Diary', 'Mengenali Diriku Hari Ini', dan 'Bangkit dari Cemas & Takut'.

Harganya cukup bervariasi. Paket perkenalan kategori teks untuk pengguna baru menjadi paket paling murah, dengan harga Rp100 ribu untuk satu kali sesi. Durasi konseling teks per sesi adalah 60 menit.

Untuk melihat daftar aplikasi lainnya, kunjungi tautan ini

Semoga momentum Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober bisa meningkatkan kesadaran orang-orang betapa pentingnya pemahaman terhadap kesehatan mental.

Penulis:

Rangga Erfizal (Palembang), Prayugo Utomo (Medan), Ridwan Aji Pitoko, Mikhaangelo Fabialdi Nurhapy  (Jakarta), Mohamad Ulil Albab, Fitria Madia (Surabaya), Sri Wibisono (Samarinda), Daruwaskita (Gunungkidul), Ayu Afria Ulita Ermalia (Denpasar), Azziz Zulkhairil (Bandung), Asrhawi Muin (Makassar), Anggun Puspitoningrum (Semarang), Maya Aulia (Tangerang), Tama Wiguna (Bandar Lampung)

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya