Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Memilih Tidak Kalah, Transpuan di Pangkep Lawan Kekerasan Dunia Kerja

Eki, transpuan asal Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, saat bekerja menghias wajah kliennya. Dok. IDN Times/istimewa
Eki, transpuan asal Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, saat bekerja menghias wajah kliennya. Dok. IDN Times/istimewa

Makassar, IDN Times - Eki tak pernah menyangka, keputusan untuk mengundurkan diri dari kantor setelah bekerja bertahun-tahun, adalah langkah yang tepat. Transpuan asal Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, ini sebelumnya sempat bekerja lima tahun di sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di kampungnya. Kantor itu, bagi Eki, meninggalkan begitu banyak luka karena ekspresi gendernya kerap dipermasalahkan.

“Tahun 2011 mendaftar (di perusahaan), diterima tahun 2012, mulai kerja dari situ dan akhirnya resign tahun 2017 akhir. Jadi kalau dihitung kurang lebih lima tahunan itu saya bekerja untuk perusahaan,” kata Eki mengawali cerita dengan IDN Times di Kota Makassar, akhir Juni 2022.

Hanya karena berfoto dengan pakaian perempuan

Eki bercerita, permasalahan ini pertama kali mencuat saat foto dirinya berpenampilan berbeda saat menghadiri suatu pesta, tersebar di media sosial. Foto itu kemudian sampai ke tangan atasannya. “Kan biasa kalau malam tahun baru ada perayaan pakaian-pakaian cewek lah terus ini acara privat bukan di tempat umum,” tutur Eki.

Belakangan, Eki baru mengetahui bahwa foto itu diunggah oleh seorang rekannya yang sama-sama menghadiri pesta saat itu. Namun dia tak tahu siapa yang menyebar foto tersebut. Hanya berselang sehari setelah foto itu tersebar, gunjingan di lingkungan kerja pun mulai dia rasakan. “Besoknya itu di kantor sudah ramai. Ini karyawan kayak gini-kayak gini. Saya kan masih belum tahu,” ujar Eki.

Menurut Eki, foto itu sebenarnya biasa saja. Hanya bentuk ekspresi diri menggunakan busana biasa, layaknya perempuan. Eki saat itu berfoto bersama beberapa rekannya. Namun saat dipanggil menghadap untuk dimintai keterangan, tim pemeriksa dari perusahaan memperlihatkan lebih dari satu foto. Eki merasa pemeriksaan awal dirinya bagaikan seorang kriminal.

“Di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) saya di ruang keamanan kayak di (kantor) polisi. Waktu di-BAP itu saya diperlihatkan tiga foto. Dua foto itu waktu saya belum kerja (di perusahaan). Diungkit, dari yang masa lalu saya (dua foto). Kalau foto yang satu itu, hanya saya berdua dengan teman (swafoto) tapi yang ini (dalam pemeriksaan) ikut juga dua foto ini,” ujar Eki.

Dalam pemeriksaan saat itu, Eki mengaku sangat terintimidasi. Dia bahkan sangat ketakutan karena pertanyaan yang menurutnya konyol. “Saya di-BAP di situ pertama dikasih lihat foto, kamu kenal ini nda', kamu kenal ini. Ini siapa? Jadi saya bilang, ini acara tahun baru kita diundang nyanyi, diundang show,” terang Eki mengungkit kembali perlakuan intimidasi pihak perusahaan.

Klarifikasi yang tak digubris

Kepada atasannya, Eki menerangkan bahwa malam sebelum foto itu tersebar, dia diundang untuk tampil mengisi suatu acara di sekitar tempat tinggalnya di Pangkep. Kebetulan, acara itu bertepatan dengan momentum pergantian tahun 2016 ke 2017. Eki mengaku, sebelum bekerja di perusahaan, dia memang kerap diundang untuk tampil di berbagai kegiatan atau pesta.

Namun, lanjut Eki, atasannya saat itu tak ingin mendengarkan alasan apapun. Eki bahkan dianggap mencoreng nama baik perusahaan. “Padahal ini acara privat dan di luar jam kerja. Dan (setelah) di-BAP terus dipanggil lagi sidang (internal) sama lima orang petinggi perusahaan bagian SDM (Sumber Daya Manusia). (Saya) dimarahi, 'kamu tahu tidak, kamu itu melanggar ini, melanggar ini',” ungkap Eki.

Tak berselang lama, lanjut Eki, dia pun mendapat SP atau Surat Peringatan pertama dari perusahaan. Dia mengaku, yang membuatnya tak tahan sebenarnya bukan karena SP, melainkan karena gunjingan dan cibiran. “Nah mulai saat itu saya di kantor tidak tahan gunjingan orang. Bahkan di tempat kerja di lingkungan, di ruangan saya sudah tidak nyaman lah pokoknya,” ucap Eki.

Eki kemudian memberanikan diri untuk bicara dengan salah satu atasan yang cukup mengerti dengan dirinya. “Dari situ saya ngomonglah sama pak Edi (atasan Eki) begitu, apakah saya harus resign karena sudah tidak nyaman?. (Persoalan ini) sudah sampai ke privasi saya, sudah sampai ke orientasi saya juga dibahas. Harus diapit oleh (aturan) perusahaan begitu kan,” lanjut Eki.

Oleh atasannya saat itu, dia diminta untuk bersabar dan diberikan waktu untuk menenangkan diri. Namun Eki tetap tak nyaman berada di lingkungan yang menurutnya sangat tidak sehat. “Maksudnya stigmanya begitu sudah lain ke saya. Saya sudah dianggap bagaimana sekali, hina semacam begitu,” ungkapnya.

Sempat protes sanksi karena dianggap mendiskriminasi

Eki bahkan pernah memprotes sanksi soal SP satu yang diterimanya. Dia menuntut supaya sanksi bisa diberlakukan kepada karyawan lain yang melanggar. “Pernah saya ajukan begini (ke atasan) 'Pak, dari berapa ribu karyawan, bapak tahu kehidupan semuanya di luar sana?. Ada yang selingkuh, ada yang mabuk mungkin lebih parah dari apa yang saya lakukan. Tapi tidak dikasih begini juga kayak saya kan',?” ucap Eki.

Namun sikap atasan yang mewakili perusahaan, kata Eki, tetap sama, tidak ada respons. Di tengah kekalutannya, Eki juga sempat mengajukan ke atasan supaya dipindahkan saja ke divisi lain karena sudah tidak nyaman di lingkungan kerjanya. Di perusahaan ini, Eki sebelumnya berada dalam unit rancang bangun. “Semacam arsitek yang menggambar peta, dena lokasi (pekerjaan),” jelasnya.

Upaya permohonan untuk pindah divisi ditolak. Eki semakin putus harapan untuk lanjut bekerja di perusahaan BUMN itu. Dia mengaku, tak tahan lagi berlama-lama bila harus melalui hari-hari di lingkungan kerja yang tidak sehat. “Yang diserang itu psikis saya sih sebenarnya. Saya dianggap berbuat asusila, melanggar tata krama bahkan ada pasal (dalam aturan kerja perusahaan) diperlihatkan ke saya,” ungkap Eki.

Dalam upaya permohonan itu, Eki juga mengatakan bahwa ekspresinya di dalam foto pada suatu acara malam tahun baru sama sekali tidak ada hubungannya dengan kinerjanya di perusahaan. “Saya memang merasa tertekan, kadang (saya bertanya) yang di mana yang dilanggar. Asusila mana secara spesifik. Karena ekspresi saya saja yang berbeda di situ kan tidak ada hubungannya dengan tindakan asusila,” tegasnya lagi. 

Membangun usaha mandiri perlahan sebelum memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan

Di tengah tekanan, Eki memutuskan tidak masuk kerja berbulan-bulan. Sikap itu menurutnya sebagai bentuk protes karena penjelasannya terkait permasalahan foto dan ekspresi gender tidak diindahkan oleh perusahaan. “Jadi sebelum resign ada dua atau tiga bulan begitu saya tidak masuk kerja. Pernah bos datang ke rumah, panggil masuk lagi. Tapi saya sampaikan saya mau masuk lagi tapi kalau pindah unit,” lanjut Eki.

Namun lanjut Eki, permintaan itu tidak bisa disanggupi perusahaan. Selama tiga bulan tak masuk kerja sejak pertengahan 2017, Eki saat itu fokus mengembangkan usahanya sebagai pelukis henna sekaligus perias pengantin dan berbagai jenis acara lainnya. “Sebelum betul-betul resign kan, sudah pasang nama dulu (usaha) kerja-kerja henna. Kebetulan di Pangkep dulu belum ada tukang henna, apalagi basic saya kan tukang gambar,” ucapnya.

Dalam kurun waktu tiga bulan itu, perusahaan BUMN itu, menurut Eki juga tak berbuat apa-apa terkait permintaan pindah divisi. Desember 2017, akhirnya Eki memutuskan mengundurkan diri. Terlebih karena pendapatannya sebagai pelukis henna sudah lumayan mencukupi. “Nah dari situ saya mulai membangun dan saya rasa, sudah sama lah pendapatan saya di dalam (perusahaan) selama bekerja dengan pendapatan dari luar (usaha henna),” urai Eki bangga.

Jurnalis sudah berupaya berulang kali meminta keterangan dari pihak perusahaan yang berbasis di Kecamatan Bungoro, Pangkep ini. Konfirmasi melalui pesan WhatsApp hingga sambungan telepon terkait kejadian itu tidak digubris. Termasuk mempertanyakan, ada atau tidaknya aturan perusahaan mengenai ekspresi gender bagi karyawan. "Maaf ya bang bukan wewenang saya berkomentar, saya cuman pelaksana biasaji," singkat Safri, jajaran Pelaksana Hubungan Masyarakat (Humas) perusahaan. 

Kembangkan bisnis dengan serius hingga berdayakan sesama kelompok rentan

Eki mulai bekerja serius mengembangkan bisnisnya saat itu. Meski masih banyak juga cercaan dari orang-orang terdekatnya. Khususnya pihak keluarga. “(Mereka beranggapan) bodoh sekali orang itu kejar-kejar mau masuk di situ (perusahaan). Tapi saya bilang saya juga tidak langsung putuskan untuk keluar, harus pikir panjang efeknya apa dan segala macam,” Eki menjelaskan.

Eki tetap bersabar dan terus berupaya bekerja keras untuk membuktikan, bahwa dia bisa mandiri tanpa penyesalan setelah memutuskan keluar dari perusahaan. Sampai akhirnya tepat pada pertengahan Maret 2018 dia sudah bisa menjalankan usahanya. “Dan sejak usahaku jalan, keluarga akhirnya mereka mendukung juga,” ungkap Eki bangga.

Di awal merintis usaha ini, Eki merekrut kawan-kawan seperjuangannya, sesama kelompok transpuan di komunitasnya. Mereka tak hanya berasal dari Pangkep, sebagian lainnya berasal dari Kota Makassar. “Ada sekitar tujuh orang dulu, transpuan yang ikut juga sama saya. (Usaha) bukan hanya henna, ada juga hairdo kayak sanggul penataan rambut, dan makeup juga,” kata Eki. 

Eki memberdayakan rekannya sesama kelompok rentan, karena kedekatan emosional dan rasa saling pengertian. Dia beranggapan bahwa kekuatan sebenarnya adalah kebersamaan. “Saya mencoba membuka peluang kerja untuk sesama kita karena saya lihat kalau mau kerja formal di pemerintahan susah juga, perawat juga susah. Paling-paling kerja di salon atau maaf, open BO,” imbuh Eki.

ILO terus dorong kesetaraan gender dalam dunia kerja

Merujuk dalam Konvensi Perburuhan Internasional atau ILO (International Labour Organization), salah satu badan organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang kesetaraan gender dalam di dunia kerja, perusahaan dinilai masih menjadi zona yang rentan terhadap praktik diskriminasi berbasis gender.

Organisasi ini terus berupaya mendorong terciptanya peluang bagi pekerja, untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif secara bebas, adil, aman dan bermartabat. “ILO sendiri terus berupaya mempromosikan hak pekerja yang layak untuk semua tanpa mebedakan gender namun fokus pada skill dan fit to work,” jelas Staf Proyek ILO untuk HIV/AIDS In The World of Work, Early Dewi Nuriana saat dihubungi via telepon.

Pada Konvensi Nomor 111 ILO, termaktub penjelasan terkait diskriminasi dalam konteks pekerjaan dan jabatan. Isinya, melarang diskriminasi dan mempromosikan kesetaraan kesempatan dan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan berdasarkan asal muasal termasuk jenis kelamin. Selain itu, ILO juga menyoroti klausa pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Seperti Pasal 5 dan 6 yang menyebutkan bahwa diskriminasi ketenagakerjaan dalam bentuk apapun, dilarang. Isi Pasal 5 yakni, setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Sedangkan Pasal 6, mengatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.

Menurut Early, hal ini secara substansial sangat berkaitan dengan praktik diskriminasi gender dalam dunia kerja. Persoalan ini lanjutnya, jadi atensi. “Terkait diskriminasi masih sangat minim karena hanya sanksi administrasi. Keberagaman gender di Indonesia masih dipahami sangat terbatas pada dua gender (laki-laki dan perempuan),” ungkap Early.

Lebih lanjut kata Early, pihaknya sejauh ini juga terus mendorong supaya perusahaan, lebih peduli dan memberikan ruang bagi keberagaman menyoal gender dalam dunia kerja. “Jadi dalam konteks ini, mekanisme bipartit diperlukan untuk memberikan perlindungan pekerja dengan gender diversity,” imbuh Early.

KSM: Transpuan kelompok paling rentan alami kekerasan

Komunitas Sehati Makassar (KSM) mencatat, kasus kekerasan berbasis SOGIESC (Sex Orientation Gender Identity and Expression and Sex Characteristic) di Sulawesi Selatan dalam kurung waktu 2017 hingga 2019, sempat naik turun. Kategori kekerasan paling mendominasi adalah psikis. Jumlahnya mencapai 30 kasus. Selebihnya, fisik 16 kasus, ekonomi 13 kasus dan seksual 1 kasus.

“Komunitas LGBT khususnya transpuan sebagai korban yang paling banyak mengalami kekerasan rentan untuk mengalami permasalahan psikologis sehingga dukungan dan dampingan psikologis sangat dibutuhkan sebagai bagian dari support system,” kata aktivis KSM, Eman Memay Harundja saat ditemui terpisah.

Pelaku kekerasan terhadap kelompok rentan, menurut catatan KSM, meliputi teman, pasangan, organisasi masyarakat, orang misterius atau orang tak dikenal hingga perangkat negara seperti oknum polisi dan Satpol PP. Menurut Eman, stigma bahwa LGBTI adalah penyakit jiwa, merupakan sesuatu yang keliru. KSM merujuk pada penelitian American Psychiatric Association (APA), yang telah menghapus homoseksual dari Diagnostic and Statical Manual of Mental Disorder sejak 1973.

Tak hanya itu, World Health Organisation (WHO) sejak 1990 juga telah menghapus homoseksual dari International  Classification of Disease. Organisasi Kesehatan Dunia itu menyatakan, bahwa homoseksual tidak dapat lagi dianggap sebagai kondisi patologis kelainan atau penyakit. Penelitian secara biologis dan psikologis itu menunjukkan, orientasi seksual adalah bagian intrinsik dari karakteristik pribadi manusia.

Lebih lanjut kata Eman, sejumlah catatan kasus itu mengindikasikan bahwa semakin sedikit ruang aman bagi komunitas LGBTI (Lesbian, gay, bisexual, transgender and intersex) di Sulsel. Mereka merekomendasikan supaya masyarakat Sulsel, dalam hal ini organisasi masyarakat sipil, tokoh masyarakat, tokoh agama, budayawan dan akademisi, saling merangkul dan bersama membangun wacana yang humanis dalam menanggapi isu LGBTI.

Dengan diskursus yang positif dan sehat serta tidak menghakimi, akan membuat stigma dan diskriminasi dapat diminimalisasi. KSM juga mendorong pemerintah daerah memastikan produk hukum dan kebijakan menerapkan prinsip nondiskriminasi serta mengaji ulang atau merevisi kebijakan yang diskriminatif pada LGBTI.

Kemudian, penerapan standar prosedur yang didasarkan pada penghormatan terhadap HAM guna mengurangi angka pelanggaran yang kerap dilakukan oleh aparat penegak hukum. “Pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas dan pemahaman HAM secara berkapal guna memastikan upaya hukum dilakukan sesuai dengan peraturan dan penghormatan terhadap HAM,” imbuh Eman.

Merajut asa, buka peluang kerja besar untuk sesama kelompok rentan

Eki bersyukur, di luar usahanya yang terus berkembang, rekannya sesama kelompok rentan juga kini mulai sukses mengembangkan usaha mandiri. Semua itu berkat dari pengetahuan yang dia ajarkan. “Saya bangga, misalnya melihat postingan-nya teman-teman sudah bisa ajari lagi orang lain. Dalam hati saya merasa bahwa wah ini dari saya. Bahkan di lingkungan saja sekarang, yang dulu sempat hina-hina saya, saya buktikan saja bahwa lihat saya yang sekarang,” Eki bangga.

Karena kesuksesannya membangun usaha mandiri, Eki merasa bahwa keluarganya perlahan membuka diri dan menerima dirinya apa adanya. Begitu juga dengan orang-orang yang dulu kerap menghinanya. “Saya buktikan bahwa ini lah saya. Keinginan ke depan, saya mau buat ini untuk teman-teman transpuan lapangan kerja yang lebih besar lagi. Paling tidak kalau pun saya belum mampu wujudkan itu, saya bisa berbagi keterampilan lah,” Eki mengungkapkan harapannya.

Terakhir, Eki berpesan kepada sesama kelompok rentan dan terkucilkan, khususnya dalam dunia kerja. Dia khawatir beban psikis yang ditanggung berdampak buruk ke depan bila didiamkan. “Pesan untuk kelompok rentan. Kalau menurut saya, kalau sudah tidak nyaman dan membuat hidupmu hancur, bertentangan dengan hati dan perasaan kita harus keluar. Karena dia mungkin tidak menyerang secara fisik tapi secara psikis itu mengerikan sekali,” imbuh Eki.

*) Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us