TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Getir Hidup Sultan Hasanuddin usai Perjanjian Bongaya

Memilih mengajar agama Islam setelah turun tahta

Lukisan wajah Pahlawan Nasional asal Sulawesi Selatan dan Sultan Gowa XVI, Sultan Hasanuddin, dalam prangko Indonesia terbitan tahun 2006. (Wikimedia Commons/WNSStamps.ch)

Makassar, IDN Times - Umumnya, kisah Sultan Hasanuddin dalam buku pelajaran sejarah berakhir setelah Perjanjian Bongaya. Perjanjian yang ditandatangani pada 18 November 1667 antara Gowa-Tallo dan VOC ini oleh Belanda disebut sebagai jalan menuju perdamaian. Tapi, sebagian besar dari 30 poin perjanjian tersebut justru mereduksi kekuatan Kesultanan Gowa-Tallo.

Kendati demikian, Sultan Hasanuddin, yang bernama asli I Mallombasi Daeng Mattawang Muhammad Bakir, masih sempat melancarkan "keusilan" terakhir. Sejarawan Leonard F. Andaya dalam buku The Heritage of Arung Palakka (KITLV, 1981) menjelaskan bahwa Sultan memerintahkan pembongkaran rumah-rumah di dalam Benteng Ujung Pandang. Padahal benteng tersebut harusnya diserahkan ke Belanda dalam kondisi utuh.

Ketika Laksamana Cornelis Speelman memasuki benteng sehari setelah perjanjian ditandatangani, ia terkejut bukan main melihat kondisi rumah-rumah di dalamnya yang sudah hancur tak beraturan. Seketika tensi konflik kembali panas. Untuk meredakan ketegangan, Sultan Hasanuddin kemudian mengirimkan dua rumah baru ke benteng yang kemudian dinamai sebagai Fort Rotterdam itu.

Baca Juga: Musisi Jazz yang Diburu Intel : Kisah WR Supratman di Makassar

1. Benteng Fort Rotterdam jadi saksi bisu "keusilan" terakhir Sultan Hasanuddin

Meskipun Perjanjian Bongaya telah disepakati, Perang Makassar masih berlanjut. Setelah kesepakatan yang melucuti supremasi Gowa-Tallo tersebut, ada periode "tenang" selama lima bulan dari November 1667 hingga April 1668. Tapi, ketegangan tetap terasa karena kecurigaan di antara Gowa-Tallo dan VOC belum reda. Kabar ketidakpuasan bangsawan Gowa-Tallo juga tersebar luas, membuat konfrontasi kesekian terasa semakin dekat.

Ternyata, VOC yang mengirim serangan pertama dalam konflik ini. Pada 13 April 1668, serangan dilancarkan dari darat dan laut, dengan kapal-kapal perang yang menargetkan Benteng Somba Opu. Di darat, pasukan Kompeni dan sekutunya yakni pasukan Bugis, menyerang loji dagang Inggris serta Kampung Melayu. Lokasinya di antara Fort Rotterdam dan Somba Opu, kediaman Sultan Hasanuddin dan keluarga kerajaan.

Meskipun Gowa-Tallo sanggup menahan serangan selama beberapa bulan, kekuatan mereka akhirnya takluk oleh taktik blokade laut dan bantuan yang tak habis-habisnya dari Batavia. Setelah dikepung selama 10 hari, Somba Opu jatuh ke tangan VOC pada 24 Juni 1669. Ini menandai berakhirnya Perang Makassar yang sengit.

2. Direbutnya Benteng Somba Opu jadi penanda akhir masa kekuasaan Sultan Hasanuddin

Sebelum Sombaopu jatuh, Sultan Hasanuddin bersama pejabat kerajaan dan keluarganya mundur ke Benteng Kalegowa untuk menjalankan pemerintahan Gowa dari sana. Lima hari setelah kekalahan, yakni 29 Juni 1669, ia memutuskan turun tahta. Tahta kepemimpinan diserahkan kepada putranya yang masih berusia 13 tahun, Sultan Amir Hamzah.

Sagimun Mulus Dumadi, dalam buku Sultan Hasanuddin Menentang VOC (Depdikbud, 1985), menjelaskan bahwa Sultan Hasanuddin menghabiskan waktu dengan mengajar agama Islam kepada anak-anak di Gowa setelah tak lagi berkuasa. Di saat bersamaan, ia juga memantau pemerintahan yang dijalankan oleh Karaeng Tunananga Ripasiringanna yang memiliki jabatan setara perdana menteri.

Kesehatan Sultan Hasanuddin semakin memburuk akibat penyakit beri-beri yang dideritanya sejak masa akhir pemerintahannya. Meski sudah memanggil banyak tabib, kondisinya tidak kunjung membaik, dan ia akhirnya terkulai lemah di atas tempat tidur. Sosok yang dulu berapi-api kini kesulitan berjalan dengan beberapa anggota tubuh yang membengkak menjadi pemandangan nan mengiris hati.

Berita Terkini Lainnya