Nuansa Tradisi Syiah dalam Kebudayaan di Sulawesi Selatan

Jejak sejarah Syiah di Sulsel dapat ditelusuri dari tradisi

Makassar, IDN Times – Hari itu, Senin 8 Agustus 2022, toko-toko perabotan rumah tangga di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tampak ramai diserbu pembeli yang mayoritas adalah ibu-ibu. Di salah satu toserba, terlihat sejumlah ibu-ibu membeli perabotan rumah tangga, mulai dari gayung atau warga setempat menyebutnya timba, ember, panci, baskom hingga termos. 

Membeli perabotan baru telah menjadi kegiatan rutin bagi sebagian masyarakat kota Makassar setiap menjelang 10 Muharram atau dikenal dengan sebutan Hari Asyura. Tahun ini, tanggal 10 Muharram 1444 Hijriah memang jatuh pada hari tersebut. Setidaknya begitulah cara sebagian masyarakat Kota Makassar  merayakan Hari Asyura.

Tentu saja bukan hanya itu. Di Kabupaten Maros, ada juga yang merayakannya dengan membuat bubur yang disebut bubur Syura.  Bubur ini dibuat dari beras yang dimasak hingga menjadi bubur kemudian ditambahkan dengan santan kelapa. Setelah matang, bubur dituang ke piring kemudian dihiasi dengan telur dadar warna warni tak lupa dengan aneka lauk pauk pelengkap. Bubur itu kemudian dibagikan ke keluarga dan tetangga.

Tradisi merayakan Asyura ditengarai sangat kental dengan nuansa Syiah. Dalam pandangan kelompok Islam Syiah, Asyura dimaknai sebagai momentum mengenang gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW yakni Imam Husein dalam tragedi Karbala pada 680 M. Setiap 10 Muharram, umat muslim Syiah di Iran merayakan Asyura secara besar-besaran.

Pemerhati sosial keagamaan, Abu Ali Al Ishaki, menjelaskan bahwa Syiah memiliki peranan cukup besar dalam penyebaran Islam di Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan. Karena itu, tidak mengherankan jika ada banyak tradisi keagamaan yang kental dengan Syiah termasuk perayaan Hari Asyura.

“Sebenarnya tradisi Syiah itu sudah tersublimasi di wilayah Nusantara ini,” kata Abu Ali saat berbincang dengan IDN Times beberapa waktu lalu.

Abu Ali juga menambahkan, di kebudayaan Bugis, banyak bacaan ataupun mantra yang selalu merujuk pada Ali Bin Abi Thalib atau ke Fatimah Az Zahra. Salah satunya yaitu assikalaibineng yaitu tradisi muslim Sulawesi Selatan yang berkaitan dengan hubungan suami istri. Menurut kitab tersebut, hubungan suami istri akan lebih mulia jika mereka berhubungan sesuai prinsip dan semangat Imam Ali dan Fatimah Az Zahra.

Kemudian, jejak Syiah juga bisa dilihat dari peninggalan keturunan Sayyid Jalaluddin Al Aidid di Kerajaan Taeng yang kini berlokasi di Kabupaten Gowa. Sayyid Jalaluddin Al Aidid merupakan muslim Syiah yang dianggap sebagai pelopor islamisasi di Sulawesi Selatan. 

Di Kerajaan Taeng, keturunan Sayyid Jalaluddin Al Aidid menyimpan bendera perangnya. Oleh Kerajaan Gowa, Taeng dijadikan sebagai tempat untuk pembuatan senjata untuk perang. Di Taeng, ada bendera perang Kerajaan Gowa yang bertuliskan doa Jawsyan Kabir. Bagi muslim Syiah, doa ini merupakan rutinitas amalan untuk menghidupkan Lailatul Qadr pada bulan Ramadan.

“Sebenarnya kalau di Sulsel tidak begitu banyak dibandingkan dengan di Jawa. Di Jawa kan banyak dia sudah mengkonstruksi bulan dan sebagainya. Itu yang bisa disebut lebih signifikan pengaruh Syiah-nya,” imbuhnya.

Masyarakat Sulsel memaknai Asyura

Nuansa Tradisi Syiah dalam Kebudayaan di Sulawesi SelatanSeorang ibu membeli peralatan rumah tangga di salah satu toko di Makassar, saat Hari Asyura, 8 Agustus 2022. IDN Times/Ashrawi Muin

Mayoritas penduduk di Indonesia saat ini memang menganut paham Ahli Sunnah Waljamaah atau Sunni yang berpedoman pada kitab Alquran dan hadits. Meski begitu, Syiah yang berpedoman pada ajaran Nabi Muhammad dan Ahlul Bait atau keluarga Nabi Muhammad diyakini sebagai ajaran Islam yang pertama kali masuk ke Indonesia. 

Akar pengaruh Syiah banyak terlihat pada tradisi keagamaan di Indonesia, termasuk pada perayaan Asyura. Meskipun pada praktiknya, ada perbedaaan dalam merayakan Asyura bagi muslim Sunni maupun Syiah. Bagi umat Islam Sunni, Asyura dipandang dengan suka cita, sedangkan bagi umat Islam Syiah, Asyura dipandang dengan rasa sedih atas tragedi berdarah yang menimpa cucu Nabi Muhammad yakni Imam Husain.

Di Sulawesi Selatan, tak banyak yang tahu perihal sejarah di balik Hari Asyura. Umumnya, masyarakat hanya membeli perabotan rumah tangga baru sebagai tradisi turun temurun. Menurut Abu Ali, ada upaya pengaburan sejarah Syiah yang membuat masyarakat tidak membicarakan peristiwa di Karbala.

“Misalnya di Bugis, pada saat bulan Asyura 10 Muharram itu, justru kemudian dia belanja ke mana-mana. Padahal dalam tradisi Syiah itu tidak boleh belanja. Tapi masih ada orang-orang Bugis yang tidak mengikuti tradisi bahwa di situ tidak boleh melakukan aktivitas. Di Jawa juga begitu,” kata Abu Ali.

Abu Ali mengamini bahwa banyak tradisi keagamaan di Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan, yang sebenarnya dipengaruhi Syiah namun seolah tidak tampak. Tradisi-tradisi itu melebur kemudian dijalankan juga oleh umat muslim Sunni. 

Peleburan itu, kata Abu Ali, sedikit banyak dipengaruhi oleh Ahmad Al Muhajir, seorang Imam keturunan Ahlul Bait, yang tidak mengajarkan kepada anak cucunya mengenai fikih Ja’fari melainkan fikih Syafi’i. Dalam hal ini, keturunan Ahlul Bait tidak menampakkan diri sebagai penganut Syiah yang bisa berujung pada ketidaktahuan terhadap tradisi-tradisi Syiah.

Persembunyian yang dimaksud tersebut bukan berarti menutup jati diri ataupun berdusta tentang kondisi sebenarnya. Namun ada ketakutan-ketakutan yang membuat penganut Syiah lebih memilih menutup identitasnya. Pasalnya selama ini mazhab yang mereka yakini kerap dilabeli negatif bahkan disebut sesat.

Abu Ali menyebut ada orang yang menerapkan Syiah dari sisi fikih saja. Mereka ini orang yang mengikuti fikih Ja’fari tapi secara moral tidak, misalnya melakukan korupsi. Maka dari itu, dia menyebut orang-orang demikian hanya seolah-olah Syiah. Demikian juga sebaliknya, ada orang-orang yang secara moral menerapkan ajaran Syiah namun tidak secara fikih. 

“Kelompok seolah-olah Syiah ini juga rawan dipersekusi. Bahkan orang-orang yang seolah-olah Syiah ini disemati dengan kata-kata kafir, musyrik dan sebagainya supaya yang mau melakukan persekusi ini dianggap layak oleh masyarakat,” kata Abu Ali.

Propaganda Barat terhadap Syiah

Walaupun telah lama eksis, namun penganut Syiah tidak sebanyak penganut Sunni. Maka dari itu, Mantan Ketua Ahlulbait Indonesia (ABI) Sulawesi Selatan, Nasir Tarawe, menilai wajar ketika warisan Syiah tidak begitu dikenal oleh masyarakat secara umum. 

Kondisi itu diperparah dengan adanya stigma yang begitu gencar dikembangkan setelah Revolusi Islam Iran pada 1979. Sebelum itu, Iran yang masih bernama Kerajaan Persia dipimpin oleh Shah Mohammad Reza Pahlevi. Persia saat itu merupakan negara di Timur Tengah yang memiliki penganut Syiah paling banyak di dunia. Singkat cerita, jatuhlah Kerajaan Persia saat Revolusi Islam Iran sehingga lahirlah Republik Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini.

“Ada peluang bagi Amerika. Diprakarsailah oleh pemimpin-pemimpin Arab. Dibikin buku sebanyak-banyaknya tentang Syiah. Digambarkan Syiah sesat dan dibagi secara gratis ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Buku-buku itu kemudian melahirkan stigma yang muncul di Syiah sebetulnya hanya karena geopolitik. Dianggap Syiah inilah yang menjadi penghalang bagi Amerika dan sekutunya untuk menguasai dunia Islam,” katanya.

Di zaman modern, stigma itu ditunjukkan melalui konflik Suriah lebih dari 10 tahun belakangan.  Menurut Nasir, Suriah seolah-olah digambarkan sebagai rezim yang menzalimi dan membantai masyarakat yang mayoritas Sunni. Maka ini menjadi magnet yang membuat umat muslim berdatangan dari negara lain termasuk Indonesia. Mereka datang ke Suriah untuk berperang dan menyebut diri sebagai mujahidin.  

“Ajaibnya, sejak 2011, wacana tentang kesesatan Syiah di Indonesia begitu gencar sekali sampai mengancam. Pokoknya bahasa kebencian terhadap Syiah disebarkan secara massif di seluruh Indonesia sejak 2011 sampai sekarang, walaupun terakhir-terakhir ini sudah menurun,” kata Nasir yang ditemui di kediamannya.

Nasir berasumsi bahwa jumlah penganut Syiah di Indonesia hanya sekitar 1 persen.  Dengan begitu, memusuhi Syiah di Indonesia sia-sia belaka. Akan tetapi, budaya Syiah tidak pernah hilang di Indonesia.

Stigma sesat ini kemudian menjadi salah satu faktor muslim Syiah kerap menerima persekusi. Namun yang mengherankan adalah tindakan persekusi itu selalu fokus di Hari Asyura. Nasir berpandangan bahwa peringatan Asyura adalah sesuatu yang paling ditakuti oleh dunia Sunni. Karena di situlah ada peristiwa bersejarah tragedi Karbala.

“Mereka sebetulnya mau menutup peristiwa itu. Tapi di Syiah itu menjadi energi perjuangan sepanjang sejarah sampai kira-kira 10 tahun terakhir ada satu fenomena menakjubkan di dunia Islam. Setiap tanggal 20 Safar, jutaan kaum muslimin Syiah melakukan perjalanan dari makam Imam Ali ke makam Imam Husain. Ini mencerminkan tragedi Karbala di mana mereka dipaksa berjalan kaki,” kata Nasir.

Peristiwa Asyura adalah energi spiritual yang sangat dahsyat dan tidak akan mungkin hilang di kalangan Syiah. Bagi muslim Syiah, ketika mereka mendapatkan penderitaan seperti apa pun, mereka selalu memandang kecil dibandingkan penderitaan yang diderita oleh keluarga Nabi pada tanggal 10 Muharram 61 Hijriah. 

Di kalangan muslim Sunni, peringatan Asyura yang merupakan satu dari banyak warisan Syiah di Nusantara yang kemudian diimprovisasi supaya bersesuaian dengan kultur Sunni. Di Sulsel, masyarakat muslim pada umumnya menyambut Asyura dengan suka cita seperti membuat bubur merah, bubur putih, dan sebagainya.  

“Tapi tidak dieksplorasi peristiwa yang terjadi pada peristiwa 10 Muharram. Yang dieksplorasi adalah digambarkan peristiwa bahwa 10 Muharram adalah selamatnya Nabi Musa dari kejaran Firaun. Itu disesuaikan dengan kultur Sunni supaya tidak mengarah ke eksplorasi peristiwa Asyura yang dialami oleh keluarga nabi,” kata Nasir.

Ancaman persekusi

Di Indonesia, ada ketidakbebasan muslim Syiah dalam melakukan ritual agamanya. Demikian juga dengan muslim Syiah di Sulawesi Selatan. Seperti yang dialami Lisa (bukan nama sebenarnya). 

Selama ini, Lisa mau tidak mau menyamarkan identitasnya sebagai penganut Syiah, apalagi jika ada ancaman. Dalam Syiah, penganut diperbolehkan menyamarkan identitas untuk melindungi diri. Hal ini menyusul stigma yang melekat kuat pada Syiah sehingga masyarakat muslim Indonesia belum bisa menerima aliran Syiah.

“Teman-teman saya tentu saja tidak tahu. Karena tidak semua orang mengerti hal-hal seperti itu bahkan menerima perbedaan sekali pun,” kata Lisa.

Dalam keluarganya, Lisa mengaku hanya dirinya yang menganut Syiah. Namun dia beruntung diberi kebebasan untuk beribadah sesuai ajaran Syiah dengan catatan dia bisa mempertanggungjawabkan pilihannya. 

“Keluarga sih santai meskipun ada perbedaan. Secara akidah sama, rukun Islam iya, rukun iman sama. Cuma secara fikih aja ada yang beberapa yang berbeda, itu pun juga lebih ke percabangan,” katanya.

Salah satu hal yang mengganggu pikirannya yaitu stigma yang melekat kuat pada muslim Syiah yaitu tradisi melukai diri pada Hari Asyura. Namun dia mengaku tak pernah menjalankan praktik tersebut walaupun faktanya ada sebagian muslim Syiah di dunia yang menjalankannya.

Dia pernah mengenyam Pendidikan di salah satu sekolah asrama berbasis Syiah di Pulau Jawa. Katanya, setiap tanggal 10 Muharram, warga sekitar selalu datang kemudian melemparkan batu ke arah sekolah. 

“Saking biasanya, kami cuma lihati dari atas. Kalau diserang langsung secara personal mungkin tidak, tapi kalau kekhawatiran setiap hari itu ada. Saya banyak sekali berbohong soal identitas sebagai salah satu kekhawatiran soal dihakimi macam-macam,” katanya. 

Namun Lisa menyadari betul ada penolakan nyata dari mayoritas masyarakat muslim terhadap Syiah. Hal itu pernah dia rasakan sekali saat kegiatan maleman.  Kegiatan itu diobrak-abrik oleh sekelompok orang. Karena itu, dia pun lebih senang praktik ibadah sendiri. 

“Mungkin sedikit banyak ada trauma juga kayak baru beberapa kali ikut yang di Makassar trus tiba-tiba diobrak-abrik dan divideokan, kita udah kayak tawanan perang keluar, mana lagi pakai gamis hitam. Sangat terasa vibes perangnya,” tuturnya.

Ada juga kegiatan Quds Day yang digelar pada Jumat terakhir Ramadan. Namun kali ini lebih beruntung karena mereka menggunakan payung bertuliskan Palestina sehingga tidak ada yang mencurigai kalau kegiatan tersebut berbasis Syiah. 

“Lebih bisa nyamar tanpa bawa embel-embel kayak ini kegiatan Syiah only. Pokoknya menyamar adalah keahlian kami. Harus itu karena begitulah strategi bertahan. Kalau tidak menyamar bisa membahayakan diri. Secara hukum emang boleh sih bertahan kalau itu membahayakan diri, bahkan wajib hukumnya kita untuk berlindung,” katanya.

Lisa mengaku belum memiliki keinginan untuk menunjukkan identitasnya secara terang-terangan sebagai Syiah. Lagipula, kepercayaan baginya adalah privasi yang tidak perlu diketahui semua orang.

“Saya menjalankan ibadah tapi tidak ingin dikenal sebagai sosok yang relijius. Santai aja sih. Jadi kalau mau terbuka atau tidak, ya biasa aja. Kalau saya pribadi anggap kepercayaan dan hal yang berkaitan dengan itu ranah privat. Karena itu, saya juga tidak ingin mengajak orang buat masuk, tapi kalau ada yang tertarik, saya sih open to discuss,” katanya.

Jejak Syiah di Sulawesi Selatan

Nuansa Tradisi Syiah dalam Kebudayaan di Sulawesi SelatanSitus bersejarah di Kabupaten Wajo yakni Masjid Tua Tosora saat masih berdiri pada dekade 1930-an. (Dok. Pemerintah Desa Tosora)

Mengaku Syiah secara terang-terangan sama halnya dengan mengundang bahaya. Ancaman persekusi bisa datang kapan saja dari kelompok intoleran, termasuk apa yang dialami Lisa atau segelintir penganut Syiah lainnya.

Hal ini menjadi ironi karena tradisi keislaman di Sulawesi Selatan sangat lekat dengan tradisi Persia (Syiah) sebagaimana yang dipaparkan Abu Ali Al Ishaki dan Nasir Tarawe di atas. Tradisi-tradisi khas Persia itu bahkan sudah ada sejak zaman kerajaan.

Jejak masuknya Syiah di Sulawesi Selatan dapat dilihat pada makam Sayyid Jamaluddin Husain Al Kubra yang berada di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo. Sayyid Jamaluddin Husain Al Kubra merupakan seorang ulama Persia yang juga adalah kakek dari para Wali Songo. Dia juga tak lain adalah ayah dari Sunan Maulana Malik Ibrahim. 

Sayyid Jamaluddin Husain Al Kubra diperkirakan masuk di Sulawesi Selatan pada tahun 1452. Dia datang ke Sulawesi Selatan jauh sebelum ulama besar seperti Datuk Ri Bandang, Datuk Patimang serta Datuk Di Tiro menginjakkan kaki di Tallo. Ketiga ulama tersebut dipandang sebagai penyebar agama Islam pertama di Sulawesi Selatan yang tiba pada 1605 Masehi.

“Kalau mau disimpulkan sebagai jejak Syiah susah juga disimpulkan langsung seperti itu tapi susah juga dibantah. Susah disimpulkan karena pada waktu itu belum ada dualisme Syiah Sunni di Indonesia. Karena itu susah juga dibantah bahwa itu bukan orang Syiah punya. Dikotomi Syiah Sunni itu baru muncul secara tajam di Indonesia saat Revolusi Islam Iran,” kata Sejarawan dan Budayawan Sulsel, Ambo Tang.

Menurut sejarah, Revolusi Islam Iran merupakan revolusi yang mengubah Iran (Persia) dari monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlevi menjadi Republik Islam yang dipimpin Ayatullah Khomeini. Di masa pemerintahan Pahlevi, Iran bersama Arab Saudi merupakan sekutu Barat, khususnya Amerika Serikat. Namun setelah revolusi itu, Iran dianggap musuh utama oleh Amerika.

Alasan utama Amerika Serikat memusuhi Iran karena konflik identitas. Sebelum revolusi, Iran adalah aktor pro Barat. Setelah revolusi, Iran tidak ingin lagi bergantung pada Barat bahkan melawan campur tangan Barat. Hal ini pun mau tidak mau membuat Amerika Serikat harus mundur dari Iran. 

“Amerika pun terusir dari sana (Iran). Lalu Amerika menguatkan posisinya di Arab Saudi, negeri Hijaz yang dirampas oleh Ibnu Saud bersama dengan Abdul Wahab. Kemudian Wahab menjadikan ajaran yang dipahaminya menjadi Wahabi. Lalu Ibnu Saud menjadikan Tanah Hijaz itu menjadi Arab Saudi,” kata Ambo Tang.

Ambo Tang menegaskan bahwa perpecahan dua kelompok besar umat muslim ini tak terlepas dari pengaruh Amerika Serikat. Ketika dua negara tersebut masih baik-baik saja, kata Ambo Tang, ada momen ketika Raja Faisal (Arab Saudi) mencium tangan Reza Pahlevi.

Hal tersebut menunjukkan bahwa saat itu belum ada konflik antara Sunni dan Syiah. Konflik kedua kelompok tersebut baru dipertajam atas campur tangan Amerika sejak Revolusi Islam Iran. Ironisnya, kondisi ini juga yang merembet ke Indonesia.

“Di Indonesia yang lucu, ketika di sana sudah reda, hampir tidak ada bentrok Sunni-Syiah, di sini yang jadi persoalan. Saling mengkafirkan. Buang waktu kalau berkonflik seperti itu. Lebih baik berbuat lebih banyak untuk diri sendiri, masyarakat, dan masa depan,” katanya.

Dalam kasus Sayyid Jamaluddin Husain Al Kubra, dia merupakan keturunan Imam Ja’far Shodiq, keturunan generasi keenam Nabi Muhammad SAW. Imam Ja’far Shodiq sendiri merupakan Imam ke-6 dalam tradisi Syiah. Dia juga merupakan imam dari empat imam mazhab yang terkenal yaitu Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafii dan Imam Maliki.

“Tetapi faktanya di Indonesia dia tidak diakui, yang diakui cuma 4. Itu karena sudah pengaruh politik Amerika-Arab. Amerika sangat mendukung gerakan antipati terhadap Syiah karena dia diusir dari negeri yang mayoritas Syiah di Iran,” kata Ambo Tang.

Di Kabupaten Wajo, Sayyid Jamaluddin Husain Al Kubra berdakwah. Ambo Tang menuturkan bahwa dari sanalah seluruh gerakan dakwah seluruh Nusantara ini dikendalikan. Rombongannya memang bukan yang pertama kali datang di Nusantara, namun dia mampu mempengaruhi sendi-sendi utama kehidupan masyarakat.

 “Kalau di Jawa dia membuat kesultanan turun-temurun, di Wajo mendirikan negara modern bersama dengan pelaku. Dia menjadi sutradara atas berdirinya negara modern dengan pelaku orang lokal. Itulah Kerajaan Wajo,” kata Ambo Tang.

 

*) Penerima Fellowship Peliputan dari Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK), dengan tema: Media sebagai Ruang Aman Kelompok Marginal di Sulawesi Selatan

Baca Juga: Memotret Sunyi Bissu Bugis di Sulawesi Selatan

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya