TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Waspada, Ini Kesesatan Berpikir yang Sering Muncul di Tahun Politik

Informasi yang benar pun bisa dikemas dengan salah

ilustrasi pemungutan suara (pexels.com/Edmond Dantès)

Tahun politik merupakan masa di mana informasi semakin banyak bertebaran dan literasi media yang baik semakin dibutuhkan. Manakah informasi yang benar? Manakah informasi yang salah? Manakah informasi yang secara fakta benar namun dikemas dengan cara yang salah?

Menghadapi tahun politik ini, kita harus mempertajam kemampuan dalam mengidentifikasi berbagai cacat pikir atau logical fallacies yang beredar di masyarakat. Apa saja cacat pikir itu? Bagaimana contohnya dan cara mengenalinya? Yuk, simak penjelasannya di bawah ini yang dihimpun dari berbagai sumber.

Baca Juga: 7 Meme Disuruh Mikir Pakai Logika, Masuk Akal, Gak?

1. Red herring fallacy

ilustrasi presentasi (unsplash.com/Kenny Eliason)

Para pencinta film dan buku pasti sudah tidak asing dengan istilah red herring. Istilah itu sering digunakan untuk membahas sebuah detail yang mengecoh dan kerap kali membuyarkan pandangan penonton atau pembaca dari kebenaran. Dunia perpolitikan juga memiliki red herring tersendiri untuk mengalihkan perhatian dari isu yang dapat menjatuhkan nama masing-masing politikus.

Contohnya, politikus A dimintai pertanggungjawaban atas janjinya dalam memberikan pendidikan yang layak bagi masyarakat. Ketimbang membahas masalah itu, politikus A hanya berkata, “Pendidikan memanglah hal yang penting bagi masyarakat kita. Sama pentingnya dengan masalah ketahanan pangan. Itulah mengapa saya akan mengerahkan kemampuan saya untuk memastikan kuatnya ketahanan pangan di daerah ini.”

Meskipun apa yang dikatakan politikus A pada akhirnya terdengar baik, tapi ia sebenarnya sedang mengalihkan perhatian orang-orang dari isu yang dibahas, yaitu isu pendidikan.

2. Causal fallacy

ilustrasi seseorang membaca berita (pexels.com/Kübra Arslaner)

“Hanya di era Pak Jokowi saja Coldplay mau manggung di Indonesia. Itu bukti Pak Jokowi dicintai dunia internasional.” Pernahkah kamu mendengar pernyataan seperti itu? Tentu saja pernyataan itu dibuat hanya dengan maksud bercanda, namun itu cocok sebagai contoh sederhana untuk menggambarkan causal fallacy.

Causal fallacy adalah pemikiran bahwa satu hal pasti disebabkan karena hal lainnya tanpa ada bukti yang kuat untuk menunjukkan sebab-akibat. Cacat pikir yang satu ini erat hubungannya dengan istilah “kebetulan”. Untuk menghindari terjerat dalam cacat pikir ini, cobalah bertanya, “Apakah kedua hal ini memang ada hubungannya? Apakah benar satu hal ini disebabkan karena hal lainnya? Apa buktinya?”

3. Strawman fallacy

ilustrasi mengajar (pexels.com/Vanessa Garcia)

Jika kamu diberikan pilihan untuk bertarung melawan seorang manusia atau sebuah orang-orangan sawah (strawman), manakah yang akan kamu lawan? Tentu saja kebanyakan orang akan memilih melawan orang-orangan sawah. Meskipun terlihat seperti orang asli, orang-orangan sawah sebenarnya hanyalah imitasi yang terlihat mirip namun terbuat lebih lemah.

Strawman fallacy adalah cacat pikir yang disebabkan oleh seseorang yang menyalahkan artikan argumen orang lain dan membuat argumen itu terlihat lebih lemah daripada sebenarnya. Contohnya, calon presiden A berpendapat bahwa menteri pendidikan harus lebih fokus dalam memastikan kesejahteraan guru.

Menggunakan strawman fallacy, calon presiden B menyerang pendapat itu dengan berkata, “Calon presiden A tidak peduli dengan fasilitas di sekolah dan kurikulum pendidikan yang memadai.” Padahal, fokus pada kesejahteraan guru bukan berarti mengabaikan masalah fasilitas dan kurikulum sekolah.

4. Slippery slope fallacy

ilustrasi seseorang menggunakan pistol (pexels.com/cottonbro)

Cacat pikir slippery slope sering muncul di dunia politik dan hukum kita, tapi hal itu jarang disadari. Secara harfiah, slippery slope memiliki arti “lereng licin.” Layaknya lereng licin yang memungkinkan seseorang untuk terus meluncur setelah terjatuh, cacat pikir ini membuat pendengarnya berpikir bahwa suatu kejadian dapat menyebabkan kejadian-kejadian lainnya yang terlalu berlebihan.

Misalnya, masyarakat menuntut penegasan pemberlakuan hukuman mati kepada para koruptor. Namun, ada beberapa kelompok masyarakat yang menentang tuntutan itu. Mereka takut jika hukuman mati diterapkan kepada para koruptor, nantinya penegak hukum akan menjatuhkan hukuman yang sama kepada kejahatan lain seperti pencurian. Padahal, pastinya nanti akan dilakukan kajian tersendiri mengenai apakah pencuri perlu dihukum mati juga atau tidak.

Baca Juga: 6 Kerugian Terlalu Mengagungkan Pola Pikir Skeptis, Susah Maju!

Verified Writer

Helmi Elena

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya