TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

4 Kepercayaan Suku Toraja tentang Kematian dalam Novel Puya ke Puya

Mengenal arti kematian dan surga bagi suku Toraja

Puya ke Puya (dok.pribadi/Gem Akasa)

Novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang mengangkat budaya Toraja dengan epik dalam bentuk fiksi yang mudah dipahami pembaca. Konflik diawali setelah kematian Rante Ralla yang merupakan bangsawan atas (tana bulaan) dan semasa hidupnya menjadi ketua adat, Allu Ralla sebagai anak sulung diharuskan untuk menggelar upacara kematian (rambu solo) bagi bapaknya. Namun, Allu Ralla beranggapan bahwa rambu solo tidak harus diadakan, karena biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Tentunya, kerabat keluarga Ralla tidak sepakat dengan keputusan Allu, mereka mendesak bahwa adat harus dijaga, rambu solo harus digelar.

Puya artinya surga, Puya ke Puya artinya surga ke surga. Novel terbaik tahun 2015 versi Tempo ini mengulik warisan leluhur Toraja tentang makna kematian dan surga yang diturunkan dari generasi ke generasi. Apa saja kepercayaan penganut aluk todolo di Toraja tentang kematian dan surga dalam novel puya ke puya yang dipercayai masyarakat Toraja sampai sekarang? Yuk, menarik untuk mengetahuinya!

Baca Juga: 8 Hal Unik Tana Toraja dalam Novel Pertanyaan kepada Kenangan

1. Sebelum rambu solo, orang Toraja yang telah meninggal dianggap sakit

Penganut aluk todolo percaya bahwa arwah orang yang telah meninggal belum ke puya (surga) sebelum diadakan upacara kematian rambu solo, Mayat diberi obat pengawet dan disimpan dalam tongkonan, rumah adat Toraja. Mayat akan dikuburkan setelah upacara rambu solo, selama masa menunggu pemakaman tersebut, mayat dianggap seperti orang yang sakit. Keluarga mayat akan menjaga dan merawat sebagaimana orang sakit seharusnya. 

Dalam novel Puya ke Puya, Faisal Oddang mengisahkan Tina Ralla, istri dari Rante Ralla yang setiap pagi menyanyikan lagu pengantar ke surga bagi Rante, memberi mayat Rante sarapan, rokok linting, daun sirih yang diletakkan disamping mayat dan mengajaknya berbicara. Begitupun juga dengan Allu, meski tidak setiap hari. Rante, di dalam peti matinya, dikisahkan dapat mendengar cerita yang disampaikan Allu dan Tina.

2. Masyarakat Toraja meyakini kerbau sebagai tunggangan menuju surga

Penganut aluk todolo percaya bahwa kerbau adalah tunggangan bagi arwah menuju surga. Jenis kerbau yang dianggap paling baik adalah tedong bonga (kerbau belang), memiliki corak unik di kulitnya, harganya lebih mahal dibanding jenis lainnya. selain tedong bonga, jenis kerbau biasa juga diperbolehkan, seperti tedong pudu (kerbau hitam polos) dan tedong bulan (kerbau putih kemerahan tanpa corak). Jumlah kerbau yang dipotong menyesuaikan dengan kasta, kaum bangsawan membutuhkan kerbau minimal 24 ekor. Jumlah kerbau yang fantastis tersebut membuat masyarakat Toraja 'menabung' kerbau pada kerabat yang menyelenggarakan rambu solo.

Dikisahkan, Rante ralla yang berstatus bangsawan atas (tana bulaan), mengharuskan Allu dan Tina mengumpulkan kerbau minimal 24 ekor. Mereka berhasil mengumpulkan kerbau sebanyak 30 ekor dari berbagai jenis kerbau, tambahan kerbau tersebut didapat dari pengembalian kerbau dan pemberian bantuan kerbau oleh kerabat. Nantinya, Allu berkewajiban mengembalikan hutang kerbau saat kerabat yang memberi bantuan kerbau meninggal dan diadakan rambu solo.

3. Bayi yang meninggal sebelum tumbuh gigi, dipercaya mati dalam keadaan suci

makam passiliran (instagram.com/backpacker.id)

Penganut aluk todolo percaya bahwa bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh, dipercaya meninggal dalam keadaan suci. Mayat balita tersebut dimakamkan tanpa kain seperti bayi dalam rahim ibu dan dimakamkan di batang pohon. Nama pohon tersebut adalah pohon tarra, pohon dengan diameter besar dan bergetah. Orang Toraja menyebutnya makam passiliran. Mayat bayi perempuan dan laki-laki diletakkan di batang yang dilubangi, seperti bilik berbentuk segi empat yang berada di pohon dan ditutup oleh ijuk supaya angin segar bisa tetap masuk dalam lubang. Orang toraja menganggap pohon tarra adalah ibu bagi bayi yang telah meninggal yang menyediakan getah sebagai pengganti air susu ibu.

Letak makam pada batang pohon menandakan strata sosial, semakin tinggi status sosial maka semakin tinggi letak makam di batang pohon. Dikisahkan, Maria Ralla, adik dari Allu Ralla yang meninggal saat usia 5 bulan di makamkan di lubang batang atas pohon karena keluarga Ralla berstatus bangsawaan, sedangkan Bumi tandiongan, bukan dari golongan bangsawan, dikuburkan di bawah lubang makam Maria. Maria dan Bumi dimakamkan di pohon yang sama dengan puluhan bayi lainnya yang belum tumbuh gigi.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya