Merah Darah di Geladak Phinisi: Amuk Massa dan Tritura di Makassar (2)

Massa mulai beraksi sendiri dengan cara membabi-buta

Makassar, IDN Times - Setelah Paperda Sulselra menerbitkan kebijakan "mengamankan" seluruh anggota dan simpatisan PKI dari amuk massa yang naik pitam, rakyat beramai-ramai melancarkan aksi penangkapan sendiri-sendiri. Sejumlah kader --yang dijebloskan ke penjara tanpa surat penangkapan-- langsung diringkus di kediamannya sendiri, tanpa proses interogasi oleh aparat berwenang.

Jumat 15 Oktober 1965, sebanyak 22 organisasi kepemudaan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Front Pemuda, Pemuda Ansor, Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Front Nasional Daerah ditambah sejumlah partai berhaluan nasionalis melakukan rapat akbar di Lapangan Karebosi. Riak-riak tuntutan mahasiswa di Jakata rupanya telah sampai di daerah. Rasa kesal telah memuncak.

Situasi Indonesia tahun itu memang sulit luar biasa. Inflasi menginjak 600%, sejumlah kebutuhan pokok langka, antrean sembako terjadi di banyak tempat. Dana negara lebih banyak dianggarkan untuk proyek mempercantik Jakarta. Angka ekspor menukik, investor pun enggan singgah lantaran politik saling jegal di tingkat nasional. Konfrontasi dengan Malaysia sejak awal dekade 1960-an, pun menjadi paku terakhir untuk peti mati bernama krisis ekonomi.

1. Massa merusak rumah-rumah dan properti milik sejumlah petinggi organisasi bawahan PKI

Merah Darah di Geladak Phinisi: Amuk Massa dan Tritura di Makassar (2)Getty Images

Setelah rapat akbar, massa kemudian menyisir satu persatu rumah-rumah atau properti pribadi milik petinggi organisasi underbow PKI seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan masih banyak lagi. Rumah-rumah tersebut dirusak hingga dilempari batu. Tampaknya amarah sudah benar-benar tak terbendung.

Massa lanjut mendatangi Komtabes Makassar, tempat penahanan sebagian anggota PKI dan simpatisannya ditahan. Massa yang sudah naik pitam memaksa masuk ke sel penahanan. Anggota kepolisian pun tak kuasa membendung lantaran jumlahnya yang sedikit. Para tahanan pun kabur menyelamatkan diri dengan memanjat tembok sebelum bersembunyi di sekitar area pemukiman.

Setelah melakukan "pengamanan", Peperda Sulselra mengambil langkah pembersihan dalam sejumlah lembaga pemerintah. Para pegawai yang tidak masuk kerja pasca 30 September 1965 diberi cuti sementara lantaran muncul anggapan bahwa orang-orang ini adalah pemegang kartu keanggotaan PKI dan organisasi underbow-nya dan sedang bersembunyi. Terbit juga himbauan dari Pemerintah Kotapraja Makassar yang mengimbau agar khutbah imam-imam masjid dan pastur-pastur gereja bertumpu pada membantu pemerintah melakukan stabilisasi kondisi masyarakat.

2. Terbitnya Supersemar jadi dasar Mayjen Soeharto (kiri) melarang segala aktivitas PKI

Merah Darah di Geladak Phinisi: Amuk Massa dan Tritura di Makassar (2)Berryl Bernay/Getty Images

Pada Senin 18 Oktober 1965, Brigjen TNI Solichin G.P. selaku pemegang mandat Peperda Sulawesi Selatan dan Tenggara menerbitkan surat pelarangan kegiatan-kegiatan PKI dan seluruh organisasi underbow yang bernaung serta seluruh anggotanya. Dan sebulan berselang, tepat pada 10 November 1965, massa anti-PKI kembali menyatroni kompleks Kodim dan Kepolisian yang menjadi tempat penahanan orang-orang yang dicurigai menjadi bagian dari PKI.

Demi meredakan gelombang protes anti-PKI yang membesar dari hari ke hari bak bola salju, Dg. Patompo selaku Wali Kota Makassar memberlakukan jam malam. Rektor-rektor seluruh universitas di Makassar waktu itu juga diminta meredakan kemarahan mahasiswa. Pihak militer membawa para tahanan ke wilayah Malino dan baru kembali ke Penjara Karebosi di akhir Desember. Selanjutnya, mereka berstatus tahanan kota dengan kewajiban wajib lapor dua kali seminggu di kantor kelurahan.

Aksi Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) di Jakarta pada 10 Januari 1966 juga mendapat respon dari mahasiswa Makassar. Tanggal 27 Januari 1966, mereka menyerbu konsulat Republik Rakyat Tiongkok yang waktu itu berdiri di Jl. Chairil Anwar. Aksi berlanjut di 8 Maret 1966, ribuan mahasiswa-pelajar-sukarelawan melakukan rapat besar kemudian pawai keliling kota membagikan selebaran berisi Tritura: pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora dan penurunan harga sembako.

Baca Juga: Kamp Moncongloe, Saksi Bisu Penderitaan Tapol Orde Baru di Sulsel

3. Penangkapan anggota dan simpatisan PKI dilakukan dari kurun waktu 1965-1968

Merah Darah di Geladak Phinisi: Amuk Massa dan Tritura di Makassar (2)Getty Images

Setelah mengantongi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Mayjen Soeharto mengambil langkah pembubaran PKI melalui Ketetapan MPRS No. 25 Tahun 1966. Makassar baru bereaksi pada 16 Maret1966 melalui rapat akbar yang dihadiri para petinggi militer, Wali Kota Makassar dan Gubernur Sulawesi Selatan. Dalam rapat tersebut, dibacakan TAP MPRS perihal status PKI yang resmi jadi partai terlarang.

Dalam buku "The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68" (2012), disebutkan bahwa penangkapan anggota PKI di Sulawesi Selatan --dan Indonesia timur pada umumnya-- tak semasif dan seberingas di Jawa, Sumatera dan Bali. Begitu ditangkap, mereka tak langsung dieksekusi melainkan sempat diserahkan ke pihak Kodam. Namun tetap ada kasus para tapol ini terbunuh.

Penangkapan terus berlangsung hingga awal tahun 1968, di mana terdapat 198 orang tertangkap. Semuanya berasal dari beragam latar belakang mulai dari warga biasa hingga militer. Akan tetapi, jika merujuk pada Kamp Moncongloe yang menjadi tempat penahanan tapol PKI se-Sulsel, jumlahnya mencapai 911 orang. Sementara catatan tahun 1985 menyebut ada 2.353 eks-tapol di Makassar.

(Bersambung)

Referensi :

  • "Kamp Pengasingan Moncongloe", Taufik, Desantara Foundation, 2009
  • "Penyusupan PKI ke Dalam Media Massa Indonesia, 1948-1965", Sumono Mustoffa dan Mohammad Chudori, Penerbit Adijaya, 1995
  • "Amuk Makassar", Institut Studi Arus Informasi, 1998
  • "The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68", Douglas Anton Kammen dan Katharine E. McGregor, Asian Studies Association of Australia, 2012
  • "The Indonesian Genocide of 1965", Katharine E. McGregor dkk, Springer, 2018
  • "The Broken Triangle: Peking, Djakarta, dan PKI", Sheldon W. Simon, Johns Hopkins Press, 1969

Baca Juga: Merah Darah di Geladak Phinisi: Situasi Makassar Pasca G30S 1965 (1)

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya