Kisah Pangeran Diponegoro Saat Diasingkan di Fort Rotterdam

Diponegoro mendiami benteng dari 1833 hingga wafat pada 1855

Makassar, IDN Times - Setelah melalui perjalanan laut yang tak menyenangkan selama 21 hari, Pangeran Diponegoro bersama rombongan tiba di Makassar pada 11 Juli 1833. Ia bersama istri, kedua anak, dan 23 pengikut langsung dibawa menuju Fort Rotterdam, benteng pertahanan sekaligus salah satu markas utama Hindia-Belanda di bagian timur Nusantara.

Lantas, seperti apa aktivitas Diponegoro selama masa eksil di tanah tempat Sultan Hasanuddin berperang melawan Kompeni sekitar satu setengah abad sebelumnya?

Sejarawan Peter Carey dalam buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 (Penerbit Kompas, 2020) menjelaskan bahwa benteng yang dibangun oleh Laksamana Cornelis Speelman itu memang diputuskan jadi tempat sang pangeran menghabiskan sisa hidupnya.

Terdengar muram memang, apalagi ruang gerak Diponegoro beserta keluarga dan pengikutnya amat dibatasi. Mereka cuma bisa beraktivitas di dalam tembok benteng. Saat matahari terbenam, kamar mereka diperiksa satu per satu untuk memastikan tak ada yang kabur.

Baca Juga: Biografi Pangeran Diponegoro, Anak Selir yang Kobarkan Perang Jawa

1. Kehidupan Pangeran Diponegoro di Fort Rotterdam serba dibatasi

Kisah Pangeran Diponegoro Saat Diasingkan di Fort RotterdamWikimedia Commons/Geheugen van Nederland

Hidup dalam isolasi bukan berarti mereka tak bisa leluasa mengetahui kabar di luar tembok benteng. Diponegoro bahkan masih bisa sesekali mengirim surat resmi pada beberapa pejabat Hindia-Belanda, memanfaatkan celah dari serangkaian protokol keamanan yanh diterapkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1834). Tapi secara umum, surat-suratnya tak sampai melewati gerbang benteng dengan berbagai alasan.

Menurut Carey, ini tak lepas dari peran para pengikutnya. Saat Diponegoro dan keluarga ditempatkan dalam kamar perwira, mereka bisa bergaul bebas dengan penduduk lokal dan anggota garnisun tentara sebab tinggal di blok pelayan benteng. Suasana interaksi pun lebih cair, bertolak belakang dengan sang pangeran yang bahkan untuk dijenguk harus bersurat resmi dengan Gubernur Celebes lebih dulu.

Masuk tahun 1839, sebagian besar pengikut setia Diponegoro dipisahkan darinya. Baik dikirim pulang ke Jawa, diasingkan ke daerah lain atau diminta tinggal di luar benteng. Meski sudah diatur sedemikian rupa, kabar tentang "sulitnya" hidup sang pangeran bocor keluar benteng.

Ini bahkan jadi sasaran empuk kritik pers di Prancis, yang notabene adalah rival Belanda dalam percaturan politik Eropa, pada 1848. Ini bahkan membuat Menteri Negeri Jajahan yakni Jean Chrétien Baud turun langsung memberi "klarifikasi" pada khalayak umum dan Raja Belanda saat itu yakni Willem II.

2. Menghabiskan waktu luang dengan membaca dan menulis buku

Kisah Pangeran Diponegoro Saat Diasingkan di Fort RotterdamWikimedia Commons/Leiden University Library

Tak leluasa bertukar kabar lewat surat bukan berarti Diponegoro tak bisa menulis. Aktivitas waktu luangnya diisi dengan menyusun buku dan membaca naskah-naskah Jawa lama. Sebelumnya, ia sudah Babad Diponegoro yang mahsyur selama diasingkan di Manado pada 1830 hingga 1833.

Yang pertama berjudul Sejarah Ratu Tanah Jawa. Menurut Carey, isinya adalah sejarah Jawa yang membentang dari zaman Nabi Adam, runtuhnya Kerajaan Majapahit serta masuknya agama Islam pada awal abad ke-16. Meski terkungkung dalam Fort Rotterdam, ia tak kehilangan selera humor, dan itu ia selipkan dalam buku tersebut.

"Tidak seperti babad, yang mengikuti alur kronologis secara ketat, buku ini ditulis dengan gaya anekdot dengan banyak menjelajahi topik-topik lain, seperti wayang, pahlawan-pahlawan legendaris, dan tempat-tempat suci," tulis Carey (hal. 412).

Judul kedua adalah Hikayat Tanah Jawa yang berisi pemahamannya tentang Islam, beragam pengalaman religius, doa-doa Sufi, teknik meditasi dan masih banyak lagi. Semuanya lekat dengan unsur kejawen dan primbon Jawa.

3. Sempat meminta sang ibu untuk menyusulnya ke Makassar

Kisah Pangeran Diponegoro Saat Diasingkan di Fort RotterdamPemandangan gerbang masuk benteng Fort Rotterdam, salah satu bangunan bersejarah, pada tahun 1921. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Kerinduan pada sang ibu yakni Raden Ayu Mangkorowati, amat dirasakan Diponegoro. Makanya, ia girang bukan main ketika menerima surat dari beliau pada 1849. Sebuah permintaan pun dilayangkan pada Gubernur Celebes Pierre Jean Baptiste de Perez (1841-1849), yakni agar Raden Ayu bisa berlayar ke Makassar menggunakan kapal uap. Kepada De Perez, Diponegoro menyebut ingin menghabiskan masa-masa terakhir hidupnya bersama ibu tercinta yang sudah berusia 80 tahun. Tapi, usia renta Raden Ayu membuat rencana tersebut diurungkan.

Wafatnya putra kedua Diponegoro, Raden Mas Sarkumo di usia 14 tahun pada Maret 1849 menjadi katalis langkah selanjutnya. Dalam audiensi dengan Gubernur Cebes yang baru yakni Pieter Vreede Bik (1849-1852), ia meminta agar kelak keturunan dan sanak keluarganya menikmati hidup sebagai orang merdeka alih-alih terpenjara di Fort Rotterdam.

Diponegoro meminta pemerintah setempat juga menyediakan lahan pusara untuk keluarga kecilnya. Termasuk pula rumah tinggal serta masjid kecil. Sang pangeran mangkat pada Senin 8 Januari 1855 di usia 69 tahun.

Permintaan Diponegoro dan keluarga kemudian "dikabulkan" oleh Gubernur Celebes yang baru yakni Alexander van der Hart (1852-1855). Menurut Carey, ini tak lepas dari dekrit rahasia dari Gubernur Jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist (1851-1856) yang melarang keturunan dan keluarga Diponegoro yang masih hidup kembali ke Jawa. Tanah seluas 1,5 hektare kemudian diberikan pada akhir 1855.

Baca Juga: Benteng Fort Rotterdam: Sejarah, Fungsi, Dan Arsitektur

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya