Arnold Mononutu di Mata Para Nasionalis: Republikan Tulen yang Mandiri

Membahas Pahlawan Nasional yang acapkali luput dari sejarah

Makassar, IDN Times - Tepat di Hari Pahlawan pada Selasa, 10 November 2020, Presiden Joko "Jokowi" Widodo menetapkan Arnold Mononutu sebagai Pahlawan Nasional. Pemberian gelar ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 117/TK/Tahun 2020 yang ditetapkan 6 November 2020.

Sosok kelahiran Manado, 4 Desember 1896, tersebut dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakan nasional. Ia pernah ambil bagian dalam organisasi Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia), Partai Nasional Indonesia (PNI), menjadi Ketua Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) serta menjabat Menteri Penerangan di tiga kabinet berbeda.

Catatannya tak berhenti di situ. Mononutu diangkat sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Tiongkok pada 1953. Kembali dari luar negeri, jabatan sebagai Rektor Universitas Hasanuddin diembannya dari 1960 hingga 1965.

1. Mohammad Natsir memuji pendekatan Mononutu atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Arnold Mononutu di Mata Para Nasionalis: Republikan Tulen yang MandiriPotret Perdana Menteri kelima Indonesia, Mohammad Natsir, yang menjabat pada 6 September 1950 - 21 Maret 1951. (Repro. "Pekan Buku Indonesia 1954" (Gunung Agung: 1954))

Namanya memang jarang terdengar, tenggelam dalam bisu buku-buku teks sejarah sekolah yang mementingkan nama tokoh, peristiwa dan tanggal tanpa membangun intimasi. Namun, Arnold Mononutu di mata para tokoh nasionalis adalah sosok yang setia kepada Merah Putih meski sempat berseberangan pendapat dan berbeda latar belakang.

Bagi Mohammad Natsir, politikus Masyumi, Arnold adalah tokoh yang memperkuat sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Atau menurut bahasa Natsir sendiri, Arnold adalah seorang nasionalis Kristen. Ini ia katakan dalam sebuah sesi Sidang Konstituante dekade 1950-an.

"Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bagi kami pokok dan sumber dari lain-lain sila. Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila akan menjadi filsafat materialistis belaka," ungkap Mononutu seperti dikutip dari buku Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan.

2. Meski berseberangan kubu, Arnold Mononutu tetap menjalin pertemanan dengan tokoh pers nasional Rosihan Anwar

Arnold Mononutu di Mata Para Nasionalis: Republikan Tulen yang MandiriPotret tokoh pers nasional, Rosihan Anwar, yang juga salah satu figur pergerakan nasional. (Repro. "Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I" (Gunung Agung: 1953))

Natsir, yang dikenal sebagai Islamis sejati, merespons pidato Mononutu dengan hangat. "Dalam saya mengikuti pidato beliau dengan perasaan terharu, saya memahamkan pada permulaan pidatonya ada usaha sungguh-sungguh dari Saudara Arnold Mononutu untuk mendesekulerisasikan Pancasila," responsnya.

Selama puluhan sidang Konstituante, memang terjadi pembahasan sulit apakah dasar Ketuhanan warisan UUD 1945 harus dilepas. Meski golongan sekuler dan agamis sudah saling melempar usulan dan tanggapan, toh Presiden Sukarno menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengembalikan UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.

Di mata tokoh pers nasional Rosihan Anwar, Arnold Mononutu adalah sosok yang tetap menaruh perhatian pada persatuan kendati duduk di parlemen NIT. Bagi kaum unitaris, NIT adalah upaya Belanda memecah belah Indonesia yang baru merdeka. Posisinya memang berseberangan, tapi hati Mononutu menginginkan persatuan.

Baca Juga: 6 Tokoh Bakal Jadi Pahlawan Nasional, Ini Daftarnya

3. Mononutu turut prihatin saat penguasa membredel sejumlah surat kabar yang cukup vokal dalam mengeritik

Arnold Mononutu di Mata Para Nasionalis: Republikan Tulen yang MandiriHalaman depan Indonesia Raya, harian yang dibredel oleh pemerintahan Orde Baru pada 21 Januari 1974. (Dok. Istimewa)

"Arnold Mononutu, anggota parlemen NIT, tapi bersikap pro Republik seringkali ke Jakarta dan dia menjadi sahabat kami di Siasat," kenang Anwar dalam buku Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraida Sanawi. Siasat adalah nama surat kabar yang ia pimpin pada tahun 1947 sampai 1957.

Mononutu bahkan turut prihatin saat pemerintah Orde Lama dan Orde Baru menutup sejumlah surat kabar yang rutin mengkritik pemerintah secara pedas. Rosihan Anwar dan rekan sejawatnya, Mochtar Lubis, kompak mengalaminya meski berbeda waktu pembredelan.

"Di negeri-negeri lain seperti India, surat kabar mencapai usia hidup seratus tahun. Tapi di Indonesia, koran-koran yang didirikan di zaman revolusi malah dimatikan, dibredel, seperti Pedoman, Indonesia Raya dan Abadi. Ya, kita ini tak punya sense of history," kata Mononutu kepada Anwar dalam satu kesempatan.

4. Sempat menjabat Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok dan Rektor Universitas Hasanuddin

Arnold Mononutu di Mata Para Nasionalis: Republikan Tulen yang MandiriLukisan Arnold Mononutu saat menjabat sebagai Rektor Universitas Hasanuddin Makassar periode 1960 sampai 1965. (Dok. Direktorat Komunikasi Universitas Hasanuddin)

Selain itu, salah satu sikap Mononutu yang paling dikenang adalah kemandiriannya, dan itu terjaga sampai tua. Salah satu cerita berasal dari Pemilu 1982. Usia senja --85 tahun-- tak menghalangi rasa antusiasnya mengikuti pencoblosan. Karena reputasi dan status, Om No --sapaan akrabnya-- diizinkan beristirahat di sebuah rumah dekat TPS.

Saat namanya dipanggil, beberapa orang hansip dengan sigap berusaha menuntunnya. Namun ia malah menolak bantuan tersebut. "Jangan banyak-banyak yang bantu saya!", tegas Mononutu seperti dikutip dari laporan harian Sinar Harapan edisi Selasa 4 Mei 1982. Alhasil hanya tiga orang yang menemani Om No ke bilik suara. Satu hansip, anak angkatnya yakni Danny Mononutu dan seorang ajudan.

Pemilik penghargaan Bintang Mahaputra Utama itu mangkat di Jakarta, 5 September 1983, di usia 86 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Baca Juga: Arnold Mononutu, Rektor Unhas Ketiga, Diberi Gelar Pahlawan Nasional

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya