Ingin Belajar Budaya Sulsel? Ini 5 Novel yang Wajib Kamu Baca

Mulai dari pesta kematian Toraja sampai kehidupan para bissu

Makassar, IDN Times - Selama satu dekade terakhir, tema lokalitas menarik minat banyak penulis untuk dieksplorasi dalam karyanya. Hal tersebut juga dialami para novelis asal Sulawesi Selatan. Lewat kepiawaian jari jemari, mereka berkesempatan mengupas berbagai hal menarik yang sudah eksis sejak lama.

Tak jarang, ini jadi ajang mereka mengkritik sekaligus mengenalkan budaya asli Sulsel ke khalayak luas. Mulai dari pesta adat kematian di Tana Toraja, ilmu mistis parakang, dinamika hidup para bissu, kehidupan suku terasing hingga kepercayaan lama Bugis kuno yang disebut Tolotang.

IDN Times memilih lima novel yang bisa mengantar kamu mencari tahu lebih banyak perihal budaya khas masyarakat Sulsel.

Baca Juga: Film "De Oost", Episode Kelam Sejarah Pembantaian Westerling di Sulsel

1. Puya ke Puya (Faisal Oddang)

Ingin Belajar Budaya Sulsel? Ini 5 Novel yang Wajib Kamu BacaSampul buku novel "Puya ke Puya" (2015) karya Faisal Oddang, penulis asal Sulawesi Selatan. (Gramedia.com)

Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada 2015 silam, Faisal Oddang membawa dilema tradisi dan realitas ke dalam novel "Puya ke Puya." Menceritakan Allu Ralla, seorang mahasiswa berdarah bangsawan Toraja, yang menerima kabar bahwa sang ayahanda meninggal dunia. Sesuai kebiasaan, keluarga meminta agar jenazah ayah melalui upacara kematian rambu solo'.

Namun, Rante Ralla "memberontak." Ia enggan mengabulkan permintaan keluarga lantaran harta warisan yang ditinggalkan tak begitu banyak. Sempat bersitegang, ia akhirnya mengalah dan mencari uang dengan cara lain. Meski berhasil mengantar arwah ambe' (ayah) menuju puya (sebutan Toraja untuk surga), ia harus berhadapan dengan berbagai konflik yang datang dari kerabat hingga sang pujaan hati.

Sebelum terbit jadi novel setebal 230 halaman, "Puya ke Puya" menyabet juara 4 Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di tahun 2014.

2. Natisha: Persembahan Terakhir (Khrisna Pabichara)

Ingin Belajar Budaya Sulsel? Ini 5 Novel yang Wajib Kamu BacaSampul buku novel "Natisha: Persembahan Terakhir" (2016) karya Khrisna Pabichara, penulis asal Sulawesi Selatan. (Goodreads.com)

Melalui "Natisha: Persembahan Terakhir", Khrisna Pabhicara mengangkat folklor mistis yang selama ini hidup di masyarakat Sulsel: ilmu parakang. Alkisah, hati Tutu sedang berbunga-bunga lantaran ia akan segera menikahi kekasihnya yakni Natisha. Tapi jelang hari bahagia, Tutu menerima kabar bahwa Natisha kabur bersama Rangka, saingan sekaligus sahabat karibnya sejak lama.

Di tengah gundah gulana, Tutu mencari tahu alasan kaburnya Natisha. Ternyata, sang calon istri terkena guna-guna. Ia akan menjadi persembahan terakhir untuk menyempurnakan ilmu parakang milik Rangka, ilmu kuno yang memberi penganutnya kekayaan melimpah awet muda hingga kebal senjata. Berkat petunjuk yang ia kumpulkan, Tutu harus berkejaran dengan waktu sebelum Natisha menjadi tumbal.

Diterbitkan oleh Javanica pada 2016 lalu, Khrisna mengemas segala hal mistis berbalut sejarah Sulsel kuno dengan begitu puitis di sepanjang 424 halaman.

3. Calabai: Perempuan dalam Tubuh Lelaki (Pepi Al-Bayqunie)

Ingin Belajar Budaya Sulsel? Ini 5 Novel yang Wajib Kamu BacaSampul buku novel "Calabai: Perempuan dalam Tubuh Lelaki" (2016) karya Pepi Al-Bayqunie, penulis asal Sulawesi Selatan. (Goodreads.com)

Dalam novel debutnya, Pepi Al-Bayqunie menggali kisah pemuka kepercayaan Bugis lama yang disebut bissu. Saidi lahir sebagai laki-laki, tapi tabiatnya kemayu layaknya perempuan. Orang Bugis menyebutnya sebagai calabai. Sang ayah, Puang Baso, sudah berulang kali mengultimatum sang anak bahwa ia tak terima dengan tabiatnya. Dalam rasa kalut yang memuncak, Saidi memilih minggat dari rumah.

Berdasarkan "petunjuk" dari mimpi, Saidi menuju Segeri, sebuah tempat yang menjadi basis terakhir para bissu. Di sana, ia memulai proses panjang menjadi perantara alam manusia dan Dewata. Membaca naskah lontaraq kuno, bergaul dengan sesama bissu, menyelami keseharian mereka yang sederhana, hingga belajar kearifan turun temurun. Di sini, ia memulai perjalanan mencari jati diri sekaligus kebudayaannya sendiri.

Diterbitkan oleh Javanica, Pepi turut menjelaskan secara rinci kebudayaan kuno Bugis dan seluk-beluk bissu dalam novel setebal 385 halaman tersebut.

4. Manusia Belang (Alfian Dippahatang)

Ingin Belajar Budaya Sulsel? Ini 5 Novel yang Wajib Kamu BacaSampul buku novel "Manusia Belang" (2020) karya Alfian Dippahatang, penulis asal Sulawesi Selatan. (MizanStore.com)

Penulis muda Alfian Dippahatang mengajak pembaca mengenali masyarakat To Balo suku yang mendiami wilayah Kabupaten Barru dan Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Mereka memiliki ciri khas kulit yang dihiasi bercak putih di sekujur tubuh, dengan "tanda" segitiga pada dahi. Saat penelitian menyebut bahwa bercak kulit ini adalah bawaan gen alih-alih penyakit, penduduk To Balo percaya ini adalah kutukan dari Dewata.

Terdiri dari sepuluh bab, "Manusia Belang" memiliki latar waktu dan tokoh utama yang berbeda-beda. Tetapi semua tetap berkisar tentang penduduk To Balo. Mulai dari kisah mereka saat disatroni gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, pergulatan batin leluhur hingga dilema tradisi saat menghadapi modernitas. Ini demi menangkap secara utuh seluruh aspek dalam "semesta masyarakat To Balo."

Sebelum terbit tahun 2020 lalu, buku setebal 168 halaman tersebut menyabet juara 3 Sayembara Novel Penerbit Basabasi edisi 2019. 

5. Lontara Rindu (S. Gegge Mappangewa)

Ingin Belajar Budaya Sulsel? Ini 5 Novel yang Wajib Kamu BacaSampul buku novel "Lontara Rindu" (2012) karya S. Gegge Mappangewa, penulis asal Sulawesi Selatan. (Goodreads.com)

S. Gegge Mappangewa membawa pertentangan agama dan ajaran leluhur dalam novel ini. Beda sikap memandang Tolotang (kepercayaan kuno Bugis) dan Islam yang dianut satu pasangan suami-istri tak bisa didamaikan. Mereka memilih cerai sebagai jalan keluar. Alhasil Vito dan Vino, saudara kembar hasil pernikahan mereka, ikut berpisah. Beranjak dewasa, Vito berkali-kali mengutarakan pada Vino dan sang ayah kepada ibu.

Di sisi lain, ada Amin, seorang guru agama Islam di SMP tempat Vito menimba ilmu. Di sela pelajaran, ia menyelipkan cerita-cerita dari masa lampau yang tercatat dalam lontaraq kuno. Mulai dari kisah kebaikan seorang penguasa hingga kejatuhannya. Tetapi, Amin mendapat fitnah setelah warga desa menuduhnya menyebar fanatisme. Vito terjebak dalam konflik batin dan upaya membersihkan nama baik Pak Guru Amin.

Memiliki tebal 340 halaman, "Lontara Rindu" yang terbit pada 2012 mendapat penghargaan Novel Terbaik Lomba Novel Harian Republika di tahun sama.

Baca Juga: 5 Film Adaptasi Novel Tentang Cinta Masa Muda yang Mengharu Biru

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya