Mengintip Ketulusan Suster Apung lewat Film Dokumenter “Ininnawa”

Kisah ibu-anak Rabiah dan Mimi diganjar Piala Citra FFI 2022

Makassar, IDN Times - Kamera menyorot seorang perempuan paruh baya duduk di tepi kapal kayu. Wajahnya menghadap ke laut saat kapal membelah gelombang. Suara bising mesin memecah keheningan, lalu muncul suara narator dengan kalimat singkat.

“Desa Sabalana saja enam pulau. Itu tenaga kesehatan cuma satu, cuma di sini,” kata wanita dalam video itu.

Adegan di atas merupakan cuplikan singkat film dokumenterIninnawa: An Island Calling”. Film karya sutradara Makassar, Arfan Sabran, itu menang Piala Citra pada Festival Film Indonesia 2022. Pada Malam Anugerah Piala Citra, Selasa malam (22/11/2022), “Ininnawa” diumumkan sebagai film dokumenter panjang terbaik, mengalahkan empat nominasi lainnya.

Adegan dan kalimat itu sedikit menggambarkan apa yang menjadi isi film. Arfan bercerita, “Ininnawa” mengangkat kisah perjuangan seorang perawat atau suster bernama Andi Rabiah, yang puluhan tahun mengabdikan diri sebagai tenaga kesehatan di kepulauan terpencil. Saban hari, Rabiah menumpang kapal mengarungi lautan, berpindah dari satu pulau ke pulau lain di Laut Flores untuk merawat orang sakit. Semua dilakukan di tengah terbatasnya jumlah tenaga kesehatan di wilayah kepulauan.

Film ini merupakan lanjutan dari proyek dokumenter Arfan Sabran terdahulu berjudul “Suster Apung” yang dirilis tahun 2006. Kedua dokumenter sama-sama menampilkan karakter Rabiah, seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) yang ditempatkan sebagai perawat di pulau terluar. Bedanya, pada “Ininnawa”, Rabiah tak lagi sendiri. Kini hadir karakter lain bernama Mimi, tak lain anak Rabiah, generasi kedua di keluarganya yang mengabdikan diri sebagai perawat di kepulauan terpencil.

“Bagaimana mereka harus bekerja, mengabdi, mencoba memberi yang terbaik di pulau. Dan di waktu yang sama bagaimana mereka tetap berupaya membangun hubungan baik dengan keluarganya,” kata Arfan menjelaskan seputar filmnya, saat diwawancara IDN Times melalui telepon, Kamis (24/11/2022).

Baca Juga: Ininnawa, Dokumenter Garapan Sineas Makassar Menang Piala Citra

1. Rabiah dan Mimi gambaran terbatasnya nakes di pulau-pulau terpencil

Mengintip Ketulusan Suster Apung lewat Film Dokumenter “Ininnawa”Film Ininnawa: An Island Calling memenangi Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2022 kategori film dokumenter panjang terbaik. (arfansabran.id)

Rabiah lahir di sebuah kampung di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, tahun 1957. Pada tahun 1978, dia memulai tugasnya sebagai perawat di Puskesmas Sapuka, Kecamatan Liukang Tangaya. Meski masuk wilayah administrasi Kabupaten Pangkep, Liukang Tangaya lebih dekat dengan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Liukang Tangaya terdiri dari delapan desa dan satu kelurahan. Desa Sabaru, yang terdekat dari ibukota kabupaten, jaraknya 243 kilometer. Kapoposan Bali jadi desa terjauh dengan jarak 594 kilometer. Sedangkan kelurahan Sapuka, ibu kota kecamatan, berjarak 302 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar 24 jam dari daratan.

Arfan sendiri mengenal Rabiah pada tahun 2004. Saat itu Arfan bersama tim Universitas Hasanuddin meneliti tentang penyakit lepra di Liukang Tangaya. Di saat yang sama, Rabiah, sebagai petugas kesehatan, berperan sebagai perawat puskesmas. Yang jadi perhatian Arfan, saat dia meneliti di 30 pulau, masyarakat setempat mengaku perawatan kesehatan mereka ditangani Rabiah. Itu artinya, pelayanan Rabiah menjangkau 30 pulau!

“Sejak itu ada ide bikin filmnya. Tahun 2006 dapat kesempatan ikut workshop Eagle Award Competition. Dan syukur kisah ibu Rabiah lewat dokumenter ‘Suster Apung’ menang waktu itu,” ucap Arfan.

Perjuangan Rabiah turut dituangkan Arfan lewat novel berjudul ‘Suster Apung’. Saat hadir pada diskusi buku itu di yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI), 19 Desember 2019, Rabiah bercerita banyak tentang perjuangannya. Bagaimana dia mesti mengarungi lautan dari pulau ke pulau untuk merawat orang sakit karena fasilitas dan tenaga kesehatan terbatas.

Rabiah berkisah, waktu pertama bertugas di pulau, banyak orang masih percaya dukun ketimbang tenaga kesehatan. Pernah satu waktu, dia dijemput menuju sebuah pulau dengan sampan karena ada laporan orang sakit. Namun setelah menerjang gelombang, orang itu enggan ditangani perawat dan lebih memilih dijampi dukun.

Karena tenaga terbatas, Rabiah rela menjalankan peran sekaligus sebagai bidan dan dokter. Dan meski sudah pensiun sejak Juni 2013, dia tetap rela melayani jika ada orang yang butuh perawatan.

“Saya bukan bidan, tapi pekerjaannya bidan juga, dokter juga, saya ambil. Karena kenapa, kalau saya tidak berbuat, mungkin saja orang bisa meninggal. Saya mungkin bisa kena malpraktik karena sudah di luar kewenangan saja. Tapi orang di sana ikhlaskan, menyerahkan ke saya,” kata Rabiah.

Di masa-masa awal Rabiah bertugas, jumlah kapal motor di Liukang Tangaya baru sekitar dua atau tiga. Karena itu, tak jarang, dia mesti menyeberang pulau dengan perahu tanpa mesin. Selain menjangkau puluhan pulau, Rabiah juga harus bersedia menemani jika ada pasien dirujuk ke rumah sakit di ibu kota kabupaten. Perjalanan makan waktu sehari semalam dengan kapal.

“Banyak orang pulau sampai sekarang tidak tahu di mana itu Pangkep. Jadi saya kesulitan kalau merujuk orang. Makanya saya dampingi sampai kembali ke kampungnya orang itu baru saya lepas,” Rabiah melanjutkan.

Film “Ininnawa” hendak mengeksplorasi lika-liku pelayanan kesehatan di kepulauan lewat kisah Rabiah dan anaknya, Mimi, yang mengabdikan hidup mereka untuk masyarakat. Saat Rabiah bersiap pensiun, dia bersiap mengalihkan tanggung jawab tunggal untuk penduduk pulau kepada putrinya.

Di Indonesia, 270 juta orang tersebar di lebih dari 17 ribu ribu pulau. Mengelola sistem perawatan kesehatan merupakan sebuah mimpi buruk. Kecamatan Liukang Tangaya, yang jadi background film “Ininnawa”, menurut data sensus tahun 2020, berpenduduk 19.349 orang. Dikutip dari laman Pemerintah Kabupaten Pangkep, pada tahun yang sama di kecamatan itu terdapat dua puskesmas dengan 24 perawat, 11 bidan, lima tenaga farmasi, lima tenaga gizi, serta sembilan dokter.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin pernah menyinggung bahwa Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mewujudkan kemandirian di bidang kesehatan. Seperti terbatasnya sumber daya manusia, bahan obat-obatan, dan alat kesehatan. Mengutip Laporan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, Wapres menyebut bahwa 19,7 persen puskesmas masih kekurangan dokter, dan 65,6 persen puskesmas belum punya tenaga preventif dan promotif yang lengkap.

“Kita masih menghadapi masalah sebaran tenaga kesehatan khususnya di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T),” kata Wapres saat menyampaikan pidato kunci pada webinar “Ketahanan dan Kemandirian Kesehatan Menuju Indonesia Emas 2045”, 25 Maret 2021 lalu.

2. Ketulusan yang tercermin lewat falsafah Ininnawa

Ininnawa merupakan sebuah falsafah dari masyarakat Bugis. Artinya adalah ketulusan hati melakukan hal-hal baik. Menurut Arfan, falsafah itu dijadikan sebagai judul film dokumenter karena mencerminkan dua karakter, Rabiah dan anaknya.

Arfan menganggap pengabdian diri ibu dan anak sebagai tenaga kesehatan di kepulauan terpencil merupakan bentuk ketulusan yang baik. Seperti halnya ketulusan orang tua menghidupi anak-anaknya.

Untuk menggambarkan perjuangan Rabiah dan Mimi, Arfan menceritakan pengalamannya menggarap film selama kurang lebih 10 tahun bolak-balik dari Makassar ke Liukang Tangaya. Menumpang kapal kayu, perjalanan bisa mencapai 32 jam. Dia bersama tim merekam momen-momen penting. Misalnya saat harus bangun jam tiga subuh karena ada panggilan untuk membantu orang melahirkan di pulau seberang.

“Film ini menggambarkan ke kita yang mungkin jarang terekspos. Tentang bagaimana kehidupan di pulau-pulau kecil, termasuk pascapandemik, masalah layanan kesehatan di pualu, lalu bagaimana keluarga harus survive, juga hubungan ibu dan anak di tengah tugas,” kata Arfan.

Arfan mengaku menggarap kisah Rabiah dan Mimi untuk membuka mata masyarakat. Sebab di luar sana, ada banyak kisah serupa tentang pengabdi di tengah masyarakat. Entah itu guru atau tenaga kesehatan di daerah terpencil yang kehidupannya tidak mudah.

“Jadi saya dedikasikan untuk mereka-mereka. Kita bilang para pengabdi. Tidak tahulah, apakah gajinya dianggap kecil atau cukup, tapi mereka tetap berani meninggalkan keluarga untuk bertugas,” ucapnya.

Saat menerima Piala Citra, Arfan juga menyinggung soal dedikasi tersebut. “Piala ini saya dedikasikan untuk semua pengabdi di pelosok-pelosok kita, terutama untuk para guru dan para nakes yang sudah berjuang, terutama melewati pandemi,” kata Arfan.

3. Kisah Rabiah dan Mimi disiapkan untuk tayang di bioskop, target festival internasional

Mengintip Ketulusan Suster Apung lewat Film Dokumenter “Ininnawa”Dokumentasi pengambilan gambar film dokumenter "Ininnawa: An Island Calling". (Dok. Arfan Sabran)

Arfan mengaku penggarapan film “Ininnawa” makan waktu sekitar 12 tahun. Namun, jika ditarik dari pembuatan film “Suster Apung” di tahun 2006, maka jaraknya lebih panjang. Film ini dibikin di bawah rumah produksi tanah air, Two Islands Digital, dengan bantuan produser berkebangsaan Australia bernama Nick Calpakdjian.

Ininnawa” kini tengah dalam tahapan post production. Film ini, kata Arfan, bakal tayang dengan durasi 75 menit. Sebelumnya, versi pendek berdurasi dengan durasi 24 menit dengan judul “Rabiah and Mimi” lebih dulu tayang di televisi Jepang, NHK.

Arfan menyebut film ini disiapkan untuk tayang di bioskop. Dia mencotohkan kualitas audio yang sudah menerapkan sistem lima saluran alias 5.1 dengan teknologi Dolby Digital. Namun dia belum bisa memastikan kapan film itu dirilis untuk penonton.

“Kita masih menunggau world premiere. Strategi distribusinya, kita pengin launching di festival film di luar negeri yang lumayan bergengsi. Dari situ kita bisa desain bagaimana distribusinya, dan mudah-mudahan bisa segera rilis,” Arfan menerangkan.

Meski belum dirilis, “Ininnawa” sejatinya sudah mencatatkan prestasi bagi tim penggarapnya.  Pada 2019, Arfan diundang ke forum presentasi dokumenter internasional Tokyo Docs di Jepang. Dari situ, dia dapat kesempatan co-production bersama NHK. Hasilnya adalah tayangan versi pendek yang sudah tayang di saluran TV Jepang itu tahun 2021 lalu.

Pada pertengahan 2022, Arfan juga diundang ke Korea untuk pitching dan menang. Timnya diganjar excellent post production pitch untuk proyek “Ininnawa”.

“Sekarang syukur karena bisa dapat penghargaan pertama untuk film ini di ajang FFI,” kata Arfan.

Baca Juga: Andi Rabiah: Suster Apung yang Rela Mengarungi Lautan Demi Membantu Sesama

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya