Dear Pak Jokowi, Yakin Indonesia Siap Menanggulangi Virus Corona?

Diperkirakan ada 3.618 kasus #COVID-19 tak terdeteksi

Jakarta, IDN Times- Di pelataran Istana Negara, didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan kepada awak media perihal dua kasus positif  Corona atau COVID-19 pertama di Indonesia.

Jokowi mencoba bersikap santai. Seakan membangun kesan agar masyarakat tidak panik dengan penyakit yang sudah tersebar di lebih dari 142 negara ini.

“Begitu ada informasi bahwa orang Jepang yang ke Indonesia, kemudian tinggal di Malaysia dan dicek di sana positif Corona, tim dari Indonesia langsung telusuri. Dicek dan tadi pagi saya dapat laporan dari Pak Menkes bahwa Ibu ini (Kasus 1) dan putrinya (Kasus 2) positif Corona,” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin, 2 Maret 2020 silam.

Selepas pengumuman, Terawan segera bertolak ke RSPI Sulianto Saroso, tempat Kasus 1 dan Kasus 2 dikarantina. Di rumah sakit yang terletak di kawasan Jakarta Utara itu, dia kembali mengingatkan agar masyarakat tidak panik menyikapi wabah Corona.

“Jangan irasional yang akan membuat permasalahan baru. Kita gak usah meniru negara lain yang membuat heboh. Kita sistem tracking-nya sudah sangat bagus,” kata mantan Kepala RSPAD Gatot Subroto itu.

Masyarakat dibuat bimbang menyikapi pernyataan para pejabat. Sebab, sebelum diumumkan oleh Jokowi, para pemangku kebijakan malah sibuk menyusun dalih guna menegaskan bahwa Indonesia bebas Corona. Padahal, mulai dari Amerika Serikat, Arab Saudi, Australia, hingga World Health Organization (WHO) meragukan pernyataan tersebut.

Alih-alih mengoptimalkan strategi penanggulangan Corona, petinggi negara justru kerap mengeluarkan kelakar yang terkesan meremehkan. Mulai dari Corona yang tidak akan masuk ke Indonesia karena masyarakatnya rajin berdoa hingga kemampuan rahasia dari nasi kucing untuk mencegah penyakit pandemi ini.

Sejak dua kasus pertama, pemerintah dituntut segera membentuk satuan tugas (Satgas) penanganan Corona. Bahkan, Satgas seharusnya sudah ada sejak negara-negara di Asia Tenggara berurusan dengan penyakit ini.

“Dari awal saya selalu pesan, segera ambil posisi pendekatan komando. Kalau dulu ada Komnas, kalau sekarang apapun namanya, harus ada satu komando menangani ini. Komando itu harus disertai otoritas informasi, didampingi ahli. Di Indonesia banyak kok lembaga kesehatan yang kapasitasnya diakui dunia,” kata Ketua Purna Komnas Flu Burung, Bayu Krisnamurthi, kepada IDN Times di IDN Media HQ, Jakarta Selatan, Senin (2/3).

Namun, Jokowi baru membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 pada Jumat (13/2) lalu, ketika jumlah kasus Corona di Indonesia sudah meningkat hingga 69 kasus, dengan empat di antaranya meninggal dunia. Itu pun setelah WHO bersurat dan menelpon Jokowi.

Pertanyaan yang kemudian terlontar adalah apakah sesungguhnya pemerintah siap menanggulangi virus Corona?

Baca Juga: Presiden Jokowi Bentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona

“Matematika” Corona

Dear Pak Jokowi, Yakin Indonesia Siap Menanggulangi Virus Corona?IDN Times/Arief Rahmat

Tren kasus positif Corona di berbagai negara, termasuk Indonesia, terjadi secara eksponensial atau peningkatannya berganda. Data Kementerian Kesehatan per Senin (16/3), dari 1.230 orang yang diperiksa, 134 di antaranya positif Corona. Jika diambil angka rata-rata sejak pengumuman kasus pertama, sekurangnya ada 8,9 orang dinyatakan terjangkit COVID-19 setiap harinya.

Dari 134 orang yang dinyatakan positif Corona, 5 di antaranya meninggal dunia. Dengan kata lain, kita bisa mendapati fatality rate COVID-19 di Indonesia mencapai 3,7 persen, hampir melewati standar fatality rate yang sudah dipatok WHO yaitu 4 persen.  

Pemerintah tentu tidak bisa melarang masyarakat untuk khawatir setelah ratusan orang dinyatakan Corona. Namun, perkara yang lebih meresahkan adalah kasus-kasus yang tidak teridentifikasi oleh pemerintah. Lihat saja pengalaman di Hubei, Tiongkok pada 21 Januari 2020 silam. Ketika pemerintah hanya mendapati 100 kasus positif, ternyata fakta di lapangan ada lebih dari 1.500 kasus baru.

Artinya, jika 1.400 kasus tidak tertangani dengan benar dan kita berasumsi bahwa peningkatannya terjadi secara eksponensial, sekurangnya 2.000 kasus baru akan ditemukan pada hari berikutnya. Dan benar saja, pada 22 Januari 2020, ketika otoritas setempat hanya menemukan sekitar 300 kasus baru, ternyata ditemukan lebih dari 2.000 kasus baru di Hubei.

Tentu ada berbagai faktor untuk menjelaskan kenapa banyak kasus baru yang tidak terdeteksi, mulai dari keterbatasan infrastruktur kesehatan hingga virus yang terus bermutasi.

Untuk kasus Amerika Serikat (AS), pakar kesehatan dari Harvard School of Public Health Marc Lipsticth mendapati, pemantauan suhu udara di berbagai pintu masuk AS gagal  mencegah 2/3 total penderita Corona menginjakkan kaki di negari Paman Sam. Thermal screening devices guna mencegah penderita demam tinggi masuk ke suatu negara, yang merupakan gejala awal Corona, tidak bekerja optimal.  

Situasi ini terjadi saat warga negara Jepang yang menulari Kasus 1 dan Kasus 2 di Indonesia. Menkes Terawan mengatakan warga Jepang itu tidak terdeteksi bermasalah ketika masuk ke Indonesia melalui pintu bandara. Menurutnya, itu bisa terjadi jika si warga Jepang tidak dalam kondisi demam.

Kemudian, dalam kasus di Tiongkok, didapati bahwa virus corona memiliki sifat carrier atau pembawa. Zhongnan Hospital of Wuhan University sempat menangani empat orang yang memiliki gejala Corona. Setelah menjalani pemeriksaan RT-PCR dan CT Scan sekurangnya dua kali selama masa inkubasi 14 hari, hasilnya adalah negatif. Mereka diizinkan keluar dari rumah sakit untuk menjalani self-quarantine di rumahnya masing-masing selama 5 hari.

Setelah 5-13 hari menjalani karantina rumah, mereka diperiksa kembali dengan metode yang sama namun perangkat yang berbeda. Hasilnya, mereka berempat dinyatakan positif Corona. Padahal, hasil CT Scan tidak menunjukkan perbedaan antara masa karantina di rumah dengan pemeriksaan ketika masa inkubasi.

“Mereka tidak berinteraksi dengan keluarga dan penderita Corona. Mereka bahkan menjalani perlakuan khusus selama di rumah. Temuan ini menandakan bahwa mereka yang dinyatakan sembuh masih berpotensi menjadi pembawa virus (carrier),” demikian tertulis dalam Research Letter yang diunggah oleh JAMA Network pada 27 Februari 2020 lalu.

Kekhawatiran serupa diutarakan Bayu. Berdasarkan pengalamannya, flu burung juga memiliki masalah terkait virus yang tidak terdeteksi.

“Pada kasus flu burung, ayamnya sehat tapi di dalamnya ada virus. Ayamnya gak kelihatan ada masalah. Tapi kalau dimakan, ternyata itu ada virusnya. Nah, apakah ini bisa terjadi pada manusia sehat tapi dia sebagai carrier, itu bagaimana deteksinya? Bisa jadi selama ini hal seperti itu yang terjadi di Indonesia,” tutur mantan wakil menteri pertanian RI itu.

Baca Juga: Tingkat Kematian Akibat Virus Corona Lebih Kecil dari Flu Burung 

Jadi, berdasarkan pengalaman yang ada, para ahli melakukan proyeksi. Mari kita mencoba mengkalkulasi berapa kira-kira jumlah kasus Corona di Indonesia yang tidak terdeteksi pemerintah.

Pengusaha di Lembah Silikon California, AS, Tomas Pueyo menulis artikel yang kemudian viral dan menjadi rujukan. Dalam artikel berjudul Coronavirus: Why You Must Act Now, dia memperkenalkan dua cara untuk mendapatkan angka kasus Corona yang tidak terdeteksi.

Pertama, dia menggunakan data kasus Corona di Hubei sebagai tolok ukurnya. Otoritas setempat baru bisa mengidentifikasi virus Corona pada 18 Januari 2020. Hingga 22 Januari 2020, sebelum diberlakukan lockdown atau pembatasan wilayah, pemerintah berhasil mengidentifikasi 444 kasus. Padahal, jika jumlah kasusnya diakumulasi dari hari pertama Corona ditemukan pada 8 Desember 2019 hingga 22 Januari 2020, diperkirakan ada sekitar 12.000 kasus.

“Jadi perbandingan (jumlah kasus yang tidak teridentifikasi dengan yang teridentifikasi) mencapai 27 kali lipat,” demikian tulis Tomas.

Jika kelipatan 27 kita gunakan untuk memperkirakan jumlah kasus di Indonesia, data per Senin, 16 Januari 2020 ada 134 kasus, maka diperkirakan ada (134x27) 3.618 total kasus Corona tidak tedeteksi di Indonesia. Artinya, pemerintah baru menemukan 3,7 persen kasus secara keseluruhan.

Kedua, Tomas menggunakan jumlah kematian di Washington, DC, ibukota AS, sebagai tolok ukurnya. Pada 8 Maret 2020, otoritas setempat menemukan 140 kasus. Setelah mengamati dinamika Corona di Washington, dia mendapati angka 1 dari 3 penderitanya akan berakhir kematian.

“Kita tahu di tempat lain death rate virus Corona antara 0,5 dan 5 persen. Tapi bagaimana ini bisa menjadi 33 persen?” tanya Tomas.

Asumsinya adalah virus tersebut sudah mendiami tubuh penderitanya selama berminggu-berminggu tanpa diketahui otoritas kesehatan setempat. Jika rata-rata masa hidup virusnya adalah 17,3 hari, maka mereka yang meninggal akibat Corona di Washington, DC pada 29 Februari 2020, diperkirakan telah terjangkit Corona sejak 12 Februari 2020.

“Untuk kasus ini, saya menggunakan mortality rate 1 persen dari kasus sebenarnya. Artinya, pada 12 Februari ada sekitar 100 kasus di daerah tersebut dan 1 orang berakhir meninggal pada 17,3 hari kemudian,” tambah dia.

Dengan tetap berpegang pada peningkatan eksponensial, maka kasus Corona bisa meningkat dua kali lipat setiap 6,2 hari.

“Hal itu berarti, pada 17 hari satu orang akan meninggal dengan kasusnya dilipatgandakan hingga 8 kali (berdasarkan koefisiensi perkalian ~8(=2^(17/6)). Artinya, jika kamu tidak mendiagnosis seluruh kasus, satu orang yang mati menandakan adanya 800 kasus.”

Jika diaplikasikan untuk kasus Indonesia, dengan data terbaru 5 orang meninggal dikali 800, maka diduga ada 4.000 kasus Corona di Indonesia. Apabila kedua data tersebut disandingkan, maka estimasi kasus asli Corona di Indonesia adalah 3.618 hingga 4.000 kasus.

Berbeda dengan Tomas, Lipsitch memprediksi jika 20-60 persen orang dewasa akan terjangkit Corona. Apabila kita menggunakan populasi DKI Jakarta sebagai contohnya dan menggunakan rentan usia 35-39 tahun sebagai sampelnya yang berjumlah 971 ribu jiwa dengan asumsi 20 persen, maka pada usia tersebut ada sekitar 194 ribu kasus Corona.

Menurut Lipsitch, persentase tersebut adalah prediksi orang dewasa yang berpotensi terjangkit Corona apabila pemerintah tidak mengambil tindakan apa pun.

“Perkiraan di atas mengartikan social distancing harus segera dilakukan. Pemerintah juga harus mempersiapkan segalanya, baik dari sains hingga ekonomi,” kata Lipsitch sebagaimana dikutip dari The Harvard Gazette.

Baca Juga: Apa Bedanya Social Distancing, Karantina, dan Isolasi? 

Menakar kesiapan rumah sakit di Indonesia

Dear Pak Jokowi, Yakin Indonesia Siap Menanggulangi Virus Corona?RS Persahabatan (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Angka-angka di atas bisa jadi berlebihan. Namun, tidak ada salahnya mempersiapkan skenario terburuk. Kabar baiknya, sudah ada 8 kasus positif corona yang dinyatakan sembuh. Artinya, persentase kesembuhan di Indonesia mencapai 5,9 persen. Kendati begitu, pemerintah tak boleh berleha-leha.

Dari seluruh kasus Corona, Tomas mendapati angka 20 persen penderitanya harus menjalani hospitalisasi, dengan catatan 5 persen di antaranya menjalani perawatan di Intensive Care Unit (ICU), dan 2,5 persen harus mendapat perawatan intensif dengan alat-alat medis.

Pertanyaannya adalah apakah Indonesia mampu melayani 800 pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit?

Mari kita berhitung kemampuan delapan rumah sakit yang menjadi rujukan penanganan COVID-19 di DKI Jakarta yang saat ini menjadi lokasi kasus pasien terbanyak yang positif Corona. Dari delapan rumah sakit, hanya 1 rumah sakit yang memiliki fasilitas Kelas A, yaitu RSPAD Gatot Subroto. Sisanya, 5 rumah sakit setara kelas B, 1 rumah sakit kelas C, dan 1 rumah sakit kelas D.

Permenkes No. 3 Tahun 2020 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit mengatur rumah sakit umum Kelas A minimal memiliki 250 tempat tidur, Kelas B minimal memiliki 200 tempat tidur, Kelas C minimal 100 tempat tidur, dan Kelas D minimal 50 tempat tidur. Ada pun rumah sakit khusus, salah satunya RSPI Sulianto Saroso yang merupakan Kelas B, minimal harus memiliki 75 tempat tidur.

Berdasarkan regulasi di atas, dari delapan rumah sakit rujukan di DKI Jakarta dengan asumsi RSAL Mintoharjo setara dengan Kelas B, maka total tempat tidur yang tersedia adalah 1.275 unit. Data bed occupancy rate (BOR) atau rata-rata tempat tidur yang digunakan di setiap rumah sakit adalah 70 persen, maka hanya 382 kasur yang tersisa.

Berdasarkan estimasi ideal versi pakar kesehatan Johns Hopkins Center for Health Security, Eric Toner, setiap 150 tempat tidur sekurangnya memiliki 20 ventilator. Ventilator menjadi penting dalam penanganan Corona karena penyakit ini membutuhkan alat bantu pernapasan bagi mereka yang sudah terserang akut.  

Sebagaimana wawancara Eric dengan NPR, rumah sakit yang kekurangan ventilator biasanya akan meminjam ventilator dari rumah sakit lain. Dan peminjaman berpotensi akan terus meningkat seiring pertumbuhan eksponen Corona. “Artinya, ventilator itu merupakan sumber daya yang terbatas,” kata dia.

Apabila satu rumah sakit sudah kewalahan menangani pasien, biasanya mereka akan melempar ke rumah sakit rujukan lainnya. Untuk skenario terburuk, apabila rumah sakit sudah kehabisan tempat tidur dan ventilator, maka dokter harus memilih pasien dengan kesempatan hidup yang lebih besar untuk dirawat secara intensif. Dengan kata lain, ada pasien yang dikorbankan di sana.

Kalau kita melihat angka-angkanya, maka delapan rujukan rumah sakit di DKI Jakarta harusnya siap menghadapi lonjakan kasus Corona apabila terjadi sewaktu-waktu, mengingat 134 kasus positif Corona tidak semuanya dikarantina di Ibu Kota.

Sulit bagi kami untuk membandingkan kemampuan rumah sakit rujukan Corona di DKI Jakarta dengan estimasi jumlah kasus yang terdeteksi dan tidak terdeteksi yang berada di Ibu Kota. Sebab, pemerintah tidak terbuka dalam hal ini. Pemerintah tidak memberikan rincian dengan jelas klasterisasi terbaru mereka yang terjangkit Corona.

Akan tetapi, berkaca dari kasus RS Persahabatan yang menjadi rujukan, ternyata tidak mampu melayani 30-an wartawan yang hendak memeriksa diri. Mereka adalah pewarta yang selama 14 hari belakangan mengalami kontak langsung dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang dinyatakan positif Corona pada (14/3/2020).

“Karena kami mesti menyiapkan dulu, gak bisa tiba-tiba datang 30 orang. Karena kami baru menyiapkan nih apa strategi,” kata Dirut RS Persahabatan Rita Rogayah sebagaimana dikutip dari Kumparan.

 

Baca Juga: Begini Pengalaman Wartawan Tes Virus Corona di RSPI Sulianti Saroso

Social distancing: Solusi menanggulangi Corona

Dear Pak Jokowi, Yakin Indonesia Siap Menanggulangi Virus Corona?Ilustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Pada akhirnya, artikel panjang yang ditulis oleh Tomas menyimpulkan dua hal, yaitu negara yang siap menghadapi Corona maka fatality rate-nya sekitar 0,5-0,9 persen dan negara yang tidak siap menghadapi Corona maka fatality rate-nya sekitar 3-5 persen.

Dengan fatality rate Indonesia yang mencapai 3,7 persen, maka negara ini tergolong kewalahan menghadapi Corona.

Lantas, apa solusi untuk menghadapi wabah yang sudah menjangkit 169.387 kasus dengan 6.513 kematian ini?

Menurut Lipsitich, dengan asumsi vaksin Corona baru tersedia tahun depan dan penyebarannya secara eksponensial, maka satu-satunya strategi adalah menekan angka penularan.

“Harus ada perubahan strategi kesehatan yang sebelumnya menelusuri satu per satu, mulai diganti ke mitigasi, salah satunya berupa social distancing. Tujuannya adalah membatasi ruang gerak dengan meminimalisir kontak, sehingga angka infeksi bisa berkurang,” kata dia.

Social distancing mungkin salah satu solusi yang paling mudah diterapkan. Dalam bentuk yang paling ekstrem, lockdown harus dilakukan. Lantas, apakah lockdown adalah kebijakan yang efektif untuk mencegah Corona?

Bertolak dari pemaparan Tomas, maka lockdown dinilai efektif dalam menanggulangi Corona di Hubei. Sejak lockdown diberlakukan pada 23 Januari 2020, jumlah kasus mengalami penurunan dan jumlah kasus yang teridentifikasi oleh pemerintah mengalami peningkatan.

Akan tetapi, ada banyak aspek yang perlu diperhitungkan sebelum memberlakukan lockdown, salah satunya adalah stok pangan dan ekonomi. Center for Strategic & International Studies (CSIS) memperkirakan, kerugian akibat me-lockdown DKI Jakarta untuk waktu 2 minggu saja mencapai 0,5 persen PDB Nasional atau sekitar Rp75 triliun.

Di Indonesia sendiri, Jokowi sudah mengimbau agar masyarakat mengurangi aktivitas di ruang publik. Beberapa daerah juga sudah meliburkan sekolah dan menganjurkan karyawan swasta untuk bekerja dari rumah. Namun, Jokowi tidak menyarankan opsi lockdown.

Kendati respons pemerintah dinilai terlambat, namun kebijakan seperti ini perlu diterapkan guna mencegah masifnya penderita Corona di Tanah Air.

https://www.youtube.com/embed/eFLpdE7HfWQ

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Umi Kalsum
  • Wendy Novianto
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya