Eijkman: Terapi Plasma Konvalesen Alternatif Vaksin COVID-19 

Jadi alternatif sebelum vaksin ditemukan

Jakarta, IDN Times - Wakil Kepala Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman Institute, Herawati Sudoyo berbagi kisah bagaimana pihaknya kini sedang menjalakan terapi plasma konvalesen, sebagai harapan untuk menyembuhkan COVID-19 sebelum vaksin bisa ditemukan.

Dia mengatakan bahwa terapi plasma adalah jalan pintas untuk memberikan pengobatan bagi pasien COVID-19.

"Itulah yang sebenarnya dilakukan pada terapi konvalesen, kenapa orang menggunakan alternatif, ini karena kita tahu bahwa sampai sekarang belum ada pengobatannya, jadi ini adalah sebenarnya jalan pintas untuk dapat memberikan pengobatan pada pasien-pasien dengan COVID-19," ujar dia dalam program Ngobrol Asik by IDN Times, Sabtu (16/5).
 

1. Terapi plasma konvalesen telah lama digunakan

Eijkman: Terapi Plasma Konvalesen Alternatif Vaksin COVID-19 Wakil Kepala Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman Institute, Herawati Sudoyo (Dok. Istimewa)

Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini juga menjelaskan bahwa terapi plasma darah adalah sesuatu yang sudah dijalankan sejak lama. Teknologi terapi plasma darah, kata dia, telah dicoba di berbagai macam penyakit virus.

"Terapi ini digunakan untuk mengobati pasien pasien dengan ebola," ujarnya.

Secara sederhana dia menjelaskan bahwa terapi plasma konvalesen adalah mengambil plasma yang ada di dalam darah pasien yang telah sembuh dari COVID-19.  Nantinya, plasma itu akan diberikan pada pasien yang masih terinfeksi oleh virus corona atau COVID-19.

Baca Juga: Peneliti Oxford: Terapi Plasma Sembuhkan COVID-19 Etis, Tapi Berisiko

2. Peran rumah sakit dan PMI dalam penyelenggaraan terapi plasma ini

Eijkman: Terapi Plasma Konvalesen Alternatif Vaksin COVID-19 Hari Palang Merah Sedunia, JK Beri Penghargaan Kepada Relawan PMI Yang Gugur Dalam Operasi COVID-19 (Dok. PMI)

Terapi plasma konvalesen ini dilakukan LBM Eijkman dengan beberapa pihak lainnya dengan peran masing-masing sesuai kepakaran mereka. Mereka yang berkontribusi dalam proyek ini dimulai dari dokter-dokter di rumah sakit, pasien penyintas tersebut didapatkan dari sana. 

Kemudian, Palang Merah Indonesia (PMI) yang melakukan proses pemisahan plasma dari darah, karena PMI memiliki unit transfusi darah. "Dia (PMI) dapat melakukan plasmaferesis, yakni memisahkan plasma dari darah lengkap," ujarnya.

 

3. Peran Eijkman untuk melakukan uji netralisasi

Eijkman: Terapi Plasma Konvalesen Alternatif Vaksin COVID-19 Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI), Jusuf Kalla (JK) bersama dengan Kepala Lembaga Eijkman Profesor Amin Subandrio di Kantor Eijkmen (Dok. Tim Media JK/PMI)

Kemudian, peran Eijkman adalah untuk melakukan uji netralisasi. Eijkman akan melakukan prosedur tes, apakah memang plasma itu mampu membunuh atau mengurangi perbanyakan dari virus corona.

Eijkman dipilih karena memiliki laboratorium yang bisa digunakan untuk perbanyakan virus. Virus ini, kata Herawati, adalah patogen atau mikroorganisme parasit yang berbahaya, karena belum ada vaksinnya.

"Tentu saja karena kita masuk laboratorium khusus nah itulah peran lembaga Eijkman, setelah itu ya kembali lagi ke rumah sakit," ujarnya.

4. Masih diterapkan untuk pasien terbatas

Eijkman: Terapi Plasma Konvalesen Alternatif Vaksin COVID-19 Ilustrasi plasma darah. pixabay.com/publicdomainpictures-14

Herawati juga menjelaskan bahwa penggunaan konvalesen sudah dimulai di Tiongkok. Namun, bagaimanapun untuk Indonesia, pihaknya harus tetap melakukan uji klinik sebelum melakukan terapi plasma tersebut, yakni dengan hanya memberikannya pada pasien terbatas, baru menuju ke pasien yang lebih banyak.

"Jadi sebenarnya tidak ada kendala untuk itu yang kuncinya adalah koordinasi saja," ujar dia.

5. Penerapannya hanya untuk pasien yang masih punya harapan

Eijkman: Terapi Plasma Konvalesen Alternatif Vaksin COVID-19 Ilustrasi suasana laboratorium saat pengujian plasma darah. pixabay.com/jarmoluk-143740

Pemberian terapi plasma konvaselen ini juga tidak tertuju pada pasien yang benar-benar kritis yakni di mana kondisinya sudah tidak lagi bisa kembali. Karena menurut dia, tidak bisa diprediksi bagaimana efek sampingnya nanti.

"Biasanya atau persyaratannya adalah digunakan di pasien yang tidak terlalu atau bukan terminal," ujarnya

Baca Juga: Metode Plasma Darah Sembuhkan Pasien COVID-19, Ini Kekurangannya

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya